RSS

MAKALA PENYAKIT FLU BURUNG


Tugas Individu Dasar Dasar Epidemiologi

PENYAKIT FLU BURUNG

DISUSUN OLEH :

FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PAREPARE
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas segala rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyusun tugas Makalah Dasar dasar epidemiologi tentang penyakit “ FLU BURUNG”
Makalah ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam menyelesaikan tugas mata kuliah Dasar dasar epidemiologi. Makalah  ini telah diupayakan agar dapat sesuai apa yang diharapkan  dan Dengan terselesainya Makalah ini sekiranya bermanfaat bagi setiap pembacanya. Makalah ini saya sajikan sebagai bagian dari proses pembelajaran agar kiranya kami sebagai mahasiswa dapat memahami betul tentang perlunya sebuah tugas agar menjadi bahan pembelajaran.
selesainya makalh ini tidak terlepas dari bantuan dan kerjasama berbagai pihak. Olehnya itu, kami mengucapkan rasa syukur yang tulus dan ikhlaskepada Allah SWT, serta ucapan terima kasih kepada : Dosen Pembimbing dan Teman teman berkat kerjasamanya sehingga Makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.
Saya menyadari bahwa Makalah ini jauh dari kesempurnaan dan dengan segala kerendahan hati kami mohon kritik dan saran yang bersifat membangun, sehingga apa yang kita harapkan dapat tercapai. Dan merupakan bahan kesempurnaan untuk makalah ini selanjutnya. Besar harapan saya, semoga makalah yang saya buat  ini mendapat ridho dari Allah SWT.
Amin..

Parepare, Januari 2013



                  Penyusun




A.    Latar belakang
Avian influenza pertama kali ditemukan menyerang di itali sekitar 100 tahun yang lalu. Wabah virus ini menyerang manusia pertama kali di Hongkong pada tahun 1997 dengan 18 korban dan 6 diantaranya meninggal3. Sejarah dunia telah mencatat tiga pandemi besar yang disebabkan oleh virus influenza tipe A. Pandemi pertama terjadi pada tahun 1918 berupa flu spanyol yang disebabkan oleh subtipe H1N1 dan memakan korban meninggal 40 juta orang. Pandemi ini sebagian besar terjadi di eropa dan amerika serikat. Pandemi kedua terjadi pada tahun 1918 berupa flu asia yang disebabkan oleh H2N2 dengan korban 4 juta jiwa. Pandemi terakhir pada tahun 1968 berupa flu hongkong yang disebabkan oleh H3N2 dengan korban 1 juta jiwa1.
Sampai bulan juni 2007 sebanyak 313 orang diseluruh dunia telah terjangkit virus AI dengan 191 diantaranya meninggal dunia. Kasus penyakit ini meningkat cepat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2003 tercatat terdapat 4 kasus, kemudian berkembang menjadi 46 kasus (2004), 97 kasus (2005), 116 kasus (2006), dan pada tahun 2007 pertanggal 15 juni sudah dilaporkan terjadi 50 kasus dengan angka kematian 60%. Negara yang terjangkit sebagian besar adalah negara-negara di asia (thailand, vietnam, kamboja, china, dan indonesia), tetapi saat ini telah menyebar ke irak dan turki2.
Kasus AI di Indonesia bermula dari ditemukannya kasus pada unggas di pekalongan, jawa tengah pada bulan agustus 20032. Menghadapi penyakit yang semakin merebak, pemerintah memutuskan untuk mrengimpor vaksin dalam jumlah terbatas dan dilakukan vaksinasi pada sejumlah unggas. Pada januari 2004, ketua I persatuan dewan hewan indonesia (PDHI), C.A. Nidom, mengumumkan bahwa identifikasi DNA dengan sampel 100 ayam yang diambil dari daerah wabah menunjukkan positif telah terjangkit flu burung1. Pada april 2004, dirjen bina produksi peternakan mengidentifikasi masuknya virus flu burung di indonesia, yakni penyelundupan vaksin flu burung, penyelundupan unggas, dan migrasi burung5.
Sampai akhirnya, pada akhir februari 2005 ribuan unggas, ayam, dan burung di lima kabupaten dan kota di jawa barat mati karena flu burung. Untuk pertama kalinya, kasus flu burung pada manusia di indonesia ditemukan pada bulan juli 2005. Kemudian, pemerintah menetapkan flu burung sebagai kejadian luar biasa (KLB) nasional mengingat banyaknya korban, baik unggas maupun manusia yang terjangkit virus flu burug. Sampai dengan september 2008 penyebaran flu burung pada manusia di Indonesia yang telah dikonfirmasi oleh Komnas Flu Burung Indonesia telah menyebar di 12 provinsi, yakni Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten, Sumatera Utara, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Barat, Lampung, Sulawesi selatan, Sumatera Selatan, Riau, dan Bali dengan jumlah kasus mencapai 137 dan 112 diantaranya meninggal dunia. jumlah kasus tterbanyak Jawa Barat dengan jumlah kasus 33 jiwa dan kasus meningggal 27 jiwa. sedangkan untuk daerah Tanggerang Banten memduduki peringkat terbanyak dengan jumlah kasus 25 jiwa dan meninggal 25 jiwa. Tanggerang merupakan salah satu daerah dengan kasus penularan Avian Influenza cukup tinggi. hingga saat ini Dinas Kesehatan Kabupaten Tanggerang Banten telah menetapkan 10 kecamatannya sebagai daerah epidemis atau wilayah penyebab dan penularan virus flu burung
Wabah flu burung sangat merugikan masyarakat, selain dari segi kesehatan terutama dalam bidang ekonomi. Hal ini disebabkan karena wabah flu burung membuat orang menjadi takut mengonsumsi daging ayam serta takut berpergian di daerah yang dinyatakan positif endemi flu burung, sehingga secara tidak langsung melumpuhkan sektor peternakan dan pariwisata di negara tersebut1. padahal jika dilihat dari data FAO pada tahun 2003 Asia tenggara termasuk Indonesia merupakan tempat peternakan unggas terbesar kedua terbesar didunia, sehingga bisa dibayangkan berapa banyak kerugian yang akan diderita apabila sektor peternakan unggas ini lumpuh



A.   Penyebab penyakit flu burung
Penyebab flu burung adalah virus influenza tipe A .Virus influenza termasuk famili Orthomyxoviridae. Virus influenza tipe A dapat berubah-ubah bentuk (Drift,Shift), dan dapat menyebabkan epidemi dan pandemi. Virus influenza tipe A terdiri dari Hemaglutinin (H) dan Neuramidase (N), kedua huruf ini digunakan sebagai identifikasi kode subtipe flu burung yang banyak jenisnya. Pada manusia hanya terdapat jenis H1N1, H2N2, H3N3, H5N1, H9N2, H1N2, H7N7.Sedangkan pada binatang H1-H5 dan N1-N9. Strain yang sangat virulen/ganas dan menyebabkan flu burung adalah dari subtipe A H5N1. Virus tersebut dapat bertahan hidup di air sampai 4 hari pada suhu 220 C dan lebih dari 30 hari pada 00 C. Virus akan mati pada pemanasan 600 C selama 30 menit atau 560 C selama 3 jam dan dengan detergent, desinfektanmisalnya formalin, serta cairan yang mengandung iodine.

1.Perkembangan penyakit flu burung
Pada awalnya virus flu burung H5N1 hanya terbatas pada unggas, tetapi dalam beberapa tahun terakhir telah muncul sebagai penyakit menular yang sangat fatal pada  manusia. Pada tahun 1997, Avian Influenza A subtipe  H5N1 telah menginfeksi manusia untuk pertama kalinya, dimana dari delapan belas orang pertama yang terinfeksi, enam di antaranya meninggal dunia. Pada bulan Januari 2003, flu burung kembali menginfeksi manusia di Hong Kong, dan sejak tahun 2004 infeksi pada manusia banyak terjadi di negara-negara Asia lainnya.
2.Hubungan Penyebab dan penyakit flu burung
   Penyakit Flu Burung atau lebih dikenal dengan istilah Avian Influenza (AI) disebabkan oleh virus inflenza tipe A dari berbagai subtipe. Sebenarnya avian influenza bukan barang baru, tetapi sudah ditemukan di Amerika Serikat pada tahun 1924. Secara garis besar virus influenza dibagi kedalam tiga golongan yaitu A, B dan C. Tipe-tipe ini dibagi berdasarkan kandungan protein Hemaglutinin (H) danNeuraminidase (N) yang terdapat pada permukaan virus. Virus influenza mempunyai subtipe H1 sampai dengan H15 dan mempunyai pasangan N1 sampai dengan N9, itulah sebabnya penamaan virus influenza menjadi subtipe HxNy (contohnya H5N1 dan H2N9).  Kandungan kedua protein ini yang menentukan apakah virus tersebut dari jenis yang mematikan atau tidak. Protein N, selain menentukan tingkat patogen virus juga sebagai determinator (penentu) jenis inang (host) virus, apakah virus tersebut hidup pada burung, itik, babi atau bahkan pada manusia. 
Virus flu burung mudah bermutasi dan sifatnya sangat labil, bila menyerang pada manusia dapat berakibat fatal, sehingga sering disebuthighly pathogenic avian influenza. Terdapat 2 sifat virus flu burung ini, yaitu antigenic shift  yang artinya virus betul-betul berubah bentuknya menjadi virus lain yang mungkin lebih ganas kemudian yang satu lagi disebut antigenic draft artinya virus bermutasi di dalam dirinya sendiri..

3. Model hubungan kausal penyakit flu burung
Flu Burung (Avian Influenza) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus influenza strain type A (H5N1). Penyakit ini menular dari burung kepada burung, tetapi juga dapat menularkan kepada manusia.Penyakit ini dapat menular lewat udara yang tercemar virus H5N 1 yang berasal dari kotoran burung / unggas yang menderita influenza.Sampai saat ini belum terbukti adanya penularan dari manusia ke manusia.Penyakit ini terutama menyerang petemak unggas.Masa inkubasi penyakit ini sangat singkat yaitu 1 - 3 hari.
Virus AI diramalkan potensial sebagai “makhluk pembunuh” yang menakutkan bila penyebarannya tidak bisa dihentikan.Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) menduga pandemi global flu burung dapat menewaskan sekitar tujuh juta umat manusia.Kini, seluruh negara di dunia bersiap menghadapi kemungkinan terjadinya pandemi global (terjadinya wabah dalam waktu bersamaan dalam wilayah yang luas).Penyakit flu burung sebenarnya termasuk tipe penyakit air borne desease (penyakit yang menular melalui udara/pernapasan), bukan tipe penyakit food borne desease (menular lewat makanan).

4. Faktor agent dari penyakit flu burung
Lingkungan Biologis
Faktor lingkungan biologis pada penyakit flu burung yaitu agent.Agent merupakan sesuatu yang merupakan sumber terjadinya penyakit yang dalam hal ini adalah virus aviant influenza (H5N1).Sifat virus ini adalah mampu menular melalui udara dan mudah bermutasi.Daerah yang diserang oleh virus ini adalah organ pernafasan dalam, hal itulah yang membuat angka kematian akibat penyakit ini sangat tinggi.
Lingkungan Fisika
-       Suhu
Pada suhu lingkungan yang tidak optimal baik suhu yang terlalu tinggi maupun terlalu rendah akan berpengaruh terhadap daya tahan tubuh seseorang pada saat itu sehingga secara tidak langsung berpengaruh terhadap mudah tidaknya virus menjangkiti seseorang. Selain itu virus flu burung juga memerlukan suhu yang optimal agar dapat bertahan hidup.
-            Musim
Faktor musim pada penyakit flu burung terjadi karena adanya faktor kebiasaan burung untuk bermigrasi ke daerah yang lebih hangat pada saat musim dingin. Misalkan burung-burung yang tinggal di pesisir utara Cina akan bermigrasi ke Australia dan Asia Tenggara pada musim dingin, burung-burung yang telah terjangkit tersebut akan berperan menularkan flu burung pada hewan yang tinggal di daerah musim panas atau daerah tropis tempat burung tersebut migrasi

-        Tempattinggal
Faktor tempat tinggal pada penyakit flu burung misalnya apakah tempat tinggal seseorang dekat dengan peternakan unggas atau tidak, di tempat tinggalnya apakah ada orang yang sedang menderita flu burung atau tidak.
-       Lingkungan sosial
Faktor lingkungan sosial meliputi kebiasaan sosial, norma serta hukum yang membuat seseorang berisiko untuk tertular penyakit. Misalnya kebiasaan masyarakat Bali yang menggunakan daging mentah yang belum dimasak terlebih dahulu untuk dijadikan sebagai makanan tradisional.Begitu pula dengan orang- orang di eropa yang terbiasa mengonsumsi daging panggang yang setengah matang atau bahkan hanya seper-empat matang. Selain itu juga pada tradisi sabung ayam akan membuat risiko penyakit menular pada pemilik ayam semakin besar.

A.   Riwayat alamiah
Riwayat alamiah penyakit flu burung terdiri dari empat fase, yaitu:

1.    Tahap rentan (Pre-patogenesis)

       Fase rentan (pre-patogenesis) adalah tahap berlangsungnya proses etiologis, dimana faktor penyebab pertama untuk pertama kalinya bertemu dengan pejamu (Host). Faktor penyebab pertama ini belum menimbulkan penyakit, tetapi telah mulai meletakkan dasar-dasar bagi berkembangnya penyakit di kemudian hari.Faktor penyebab pertama ini disebut juga faktor resiko karena kehadirannya meninggalkan
kemungkinan terhadap terjadinya penyakit sebelum fase ireverbilitas.

Tahap rentan pada flu burung adalah orang yang berada di daerah endemik. Pada tahap ini terjadi penyebaran dan penularan virus tapi proses penyebarannya belum dipahami secara menyeluruh. Bebek dan angsa merupakan pembawa (carrier) virus influenza A subtipe H5 dan H7. Unggas air liar ini juga menjadi reservoir alami untuk semua virus influenza. Diperkirakan penyebaran virus flu burung karena adanya migrasi dari unggas liar tersebut.

Beberapa cara penularan virus flu burung yang mungkin terjadi :
a. Penularan antar Unggas

Flu burung dapat menular melalui udara yang tercemar virus H5N1 yang berasal dari kotoran unggas yang sakit, melalui air minum, dan pasokan makanan yang telah terkontaminasi oleh kotoran yang terinfeksi flu burung. Di peternakan unggas, penularan dapat terjadi secara mekanis melalui peralatan, kandang, pakaian ataupun sepatu yang telah terpapar pada virus flu H5N1 juga pekerja peternakan itu sendiri. Jalur penularan antar unggas di peternakan adalah melalui:

1) Pergerakan unggas yang terinfeksi.
2) Kontak langsung selama perjalanan unggas ke tempat pemotongan.
3) Lingkungan sekitar (tetangga) dalam radius 1 km.
4) Kereta atau troli yang digunakan untuk mengangkut makanan, minuman unggas dan lain-lain.
5) Kontak tidak langsung saat pertukaran pekerja dan alat-alat.

b. Penularan dari Unggas ke Manusia

Penularan virus flu burung dari unggas ke manusia dapat terjadi ketika manusia kontak dengan kotoran unggas yang terinfeksi flu burung, atau dengan permukaan atau benda-benda yang terkontaminasi oleh kotoran unggas sakit yang mengandung virus H5N1.
Orang yang berisiko tinggi tertular flu burung adalah :
1) Pekerja di peternakan ayam.
2) Pemotong ayam.
3) Orang yang kontak dengan unggas hidup yang sakit atau terinfeksi flu burung.
4) Orang yang menyentuh produk unggas yang terinfeksi flu burung.
5) Populasi dalam radius 1 km dari lokasi terjadinya kematian unggas akibat flu burung.
c. Penularan antar Manusia

Menurut WHO, pada tahun 2004 di Thailand dan tahun 2006 di Indonesia, diduga terjadi adanya penularan dari manusia ke manusia tetapi belum jelas.Model penularan ini perlu diantisipasi secara serius karena memiliki dampak yang sangat merugikan dan mengancam kesehatan, kehidupan sosial, ekonomi dan keamanan manusia. Hal ini sangat mungkin terjadi karena virus flu burung memiliki kemampuan untuk menyusun ulang materi genetik virus flu burung dengan virus influenza manusia sehingga timbul virus Influenza subtipe baru yang sangat mudah menular (reassortment).

d. Penularan dari Lingkungan ke Manusia

Secara teoritis, model penularan ini dapat terjadi karena ketahanan virus H5N1 di alam atau lingkungan. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti mekanisme penularan flu burung pada manusia.Diperkirakan melalui saluran pernapasan karena dari hasil penelitian didapatkan reseptor H5N1 pada saluran napas manusia terutama saluran napas bagian bawah dan saluran pencernaan.Namun belum bisa dibuktikan penularan flu burung melalui saluran pencernaan.Kotoran unggas, biasanya kotoran ayam yang digunakan sebagai pupuk, menjadi salah satu faktor risiko penyebaran flu burung.Penularan unggas ke manusia juga dapat terjadi jika manusia telah menghirup udara yang mengandung virus flu burung (H5N1) atau kontak langsung dengan unggas yang terinfeksi flu burung.

e. Penularan ke Mamalia Lain

Virus flu burung (H5N1) dapat menyebar secara langsung pada beberapa mamalia yang berbeda yaitu babi, kuda, mamalia yang hidup di laut, familia Felidae (singa, harimau, kucing) serta musang (Stone marten).
C. Upaya pencegahan penyakit flu burung
·         Kotoran dari burung atau unggas yang terinfeksi dapat membawa virus flu burung, jadi sebaiknya jangan menyentuh burung, unggas atau kotorannya.
·         Bila anda telah memang burung atau unggas, segara cuci tangan dengan sabun cair dan air.
·         Masak dengan benar unggas dan telurnya sebelum dimakan/dihidangkan
·         Bila anda mengalami gejala flu, konsultasi ke dokter dan memakai masker untuk menghindari penyebaran penyakit.
·         Perlindungan terbaik terhadap influenza adalah dengan memiliki pertahanan tubuh yang baik. Hal ini dapat dilakukan dengan diet yang seimbang, olahraga yang teratur, istirahat yang cukup, kurangi stress, dan tidak merokok. Hindari tempat umum padat yang bersirkulasi udara buruk
·         Bila anda mengalami gejala demam dan pernafasan setelah kembali dari negara yang dilaporkan ada wabah flu burung, konsultasi ke dokter anda dan ceritakan perjalanan anda selama ini.

D. Transisi epidemiologi penyakit flu burung
            Virus influenza secara umum dapat terjadi melalui inhalasi, kontak langsung, ataupun kontak tidak langsung (Bridges CB, et.al. 2003).Sebagian besar kasus infeksi HPAI pada manusia disebabkan penularan virus dari unggas ke manusia (Beigel JH et.al. 2005).Pada tahun 1997 dari total 18 orang yang didiagnosis telah terinfeksi dengan H5N1 di Hongkong dimana 6 diantaranya meninggal menunjukkan bahwa adanya kontak langsung dari korban dengan unggas yang terinfeksi.Tidak ada risiko yang ditimbulkan dalam mengkonsumsi daging unggas yang telah dimasak dengan baik dan matang (Mounts AW, et.al.1999). Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui risiko terinfeksi H5N1 bagi para pakerja atau peternak unggas (Bridges CB, et.al. 2002), penelitian tentang risiko tenaga kesehatan yang menangani pasien avian influenza A (Schults C, et.al. 2005), dan juga penelitian tentang kemungkinan transmisi virus H5N1 pada binatang lainnya.
 Bukti bahwa terjadinya transmisi dari manusia ke manusia sangat jarang ditemukan. Namun demikian berdasarkan beberapa kejadian dimana terjadi kematian pasien yang berkerabat dekat disebabkan oleh infeksi virus H5N1 (Hien TT, et. al. 2004), dan transmisi yang terjadi didalam keluarga penderita pada tahun 2004 di Thailand, antara seorang anak perempuan berumur 11 tahun yang tinggal bersama bibinya, diduga telah menularkan virus H5N1 kepada bibi dan ibunya yang datang dari kota lain yang berjauhan untuk merawat anaknya yang sakit terinfeksi H5N1. Putrinya meninggal pada tanggal 8 September 2004 setelah sempat dirawat selama satu hari di rumah sakit.Seminggu kemudian pada tanggal 17 September ibunya dibawa kerumah sakit dan diduga terinfeksi virus H5N1 dan meninggal pada tanggal 20 September 2004.Sedangkan bibinya menderita gejala flu dan dibawa ke rumah sakit pada tanggal 23 September dan diobati dengan oseltamivir (tamiflu).Bibinya berhasil disembuhkan dan pulang dari rumah sakit pada tanggal 7 Oktober 2004.Dari pemeriksaan laboratorium dapat dipastikan bahwa baik ibu maupun bibinya telah terinfeksi virus H5N1 yang berasal dari anaknya, selama mereka merawat anaknya yang sedang sakit (Ungchusak K, et.al. 2005). Kekhawatiran yang muncul di kalangan para ahli genetika adalah bila terjadi rekombinasi genetik (genetic reassortment) antara virus influenza burung dan virus influenza manusia, sehingga dapat menular antara manusia ke manusia.
Ada dua kemungkinan yang dapat menghasilkan subtipe baru dari H5N1 yang dapat menular antara manusia ke manusia adalah :
a.    virus dapat menginfeksi manusia dan mengalami mutasi sehingga virus tersebut dapat beradaptasi untuk mengenali linkage RNA pada manusia, atau virus burung tersebut mendapatkan gen dari virus influenza manusia sehingga dapat bereplikasi secara efektif di dalam sel manusia. Subtipe baru virus H5N1 ini bermutasi sedemikian rupa untuk membuat protein tertentu yang dapat mengenali reseptor yang ada pada manusia, untuk jalan masuknya ke dalam sel manusia, atau     
b.    Kedua jenis virus, baik virus avian maupun human influenza tersebut dapat secara bersamaan menginfeksi manusia, sehingga terjadi “mix” atau rekombinasi genetik, sehingga menghasilkan strain virus baru yang sangat virulen bagi manusia (Herman RA & Strorck M. 2005). Walaupun perkiraan fase dimana penularan antar manusia ini masih belum dapat diketahui, akan tetapi pencegahan transmisi antar manusia ini perlu mendapatkan perhatian yang serius mengingat bahwa telah dilaporkan bahwa seorang perawat di Vietman telah menderita penyakit serius setelah dia menangani pasien yang terinfeksi dengan virus H5N1. Dalam salah satu penelitian ditemukan bahwa mutasi dari H5N1 kemungkinan besar dapat menghasilkan varian virus H5N1 baru yang dapat mengenali reseptor spesifik yang ada pada sel manusia (natural humanα2-6 glycan), sehingga bila ini terjadi maka penularan virus H5N1 dari manusia ke manusia dapat terjadi dengan mudah (Stevens J. et.al. 2006).
E. Etika epidemiologi dari penyakit Flu burung
Etika epidemiologi akan berkaitan dengan sikap seorang peneliti terhadap hak kewajiban terhadap subjek penelitian tentang penyakit flu burung.
1.    Perlakuan peneliti terhadap subjek penelitian
a. Kerahasiaan keadaan penderita penyakit flu burung (konfidensialitas)
b. Hak dan kewajiban responden surat pernyataan (informed consent)
c.  Pemberian penghargaan kepada peneliti penyakt flu burung
d.  Batas – batas intervensi yang dapat dilakukan pada penelitian flu burung.

F. Segitiga epidemiologi flu burung
- Agent
Virus penyebab flu burung tergolong family orthomyxoviridae. Virus terdiri atas 3 tipe antigenik yang berbeda, yaitu A, B, dan C. Virus influenza A bisa terdapat pada unggas, manusia, babi, kuda, dan kadang-kadang mamalia yang lain, misalnya cerpelai, anjing laut, dan ikan paus. Namun, sebenarnya horpes alamiahnya adalah unggas liar. Sebaliknya, virus influenza B dan C hanya ditemukan pada manusia. Penyakit flu burung yang disebut pula avian influenza disebabkan oleh virus influenza A2. Virus ini merupakan virus RNA dan mempunyai aktivitas haemaglutinin (HA) dan neurominidase (NA). Pembagian subtipe virus berdasarkan permukaan antigen, permukaan hamagluinin, dan neurominidase yang dimilikinya.
-       Host
Host sendiri merupakan adalah organisme tempat hidup agent tertentu yang dalam suatu keadaan menimbulkan penyakit pada organisme tersebut. Flu burung sebenarnya tidak mudah menular dari hewan yang telah terinfeksi, namun jalan untuk penularan itu akan semakin mudah apabila seseorang itu berada dalam kondisi yang lemah dan tidak memiliki system imun yang baik, begitu pula dengan pola pikir orang yang masih tidak percaya dan terkesan meremehkan bahaya penyakit ini.
-       Environment (lingkungan)
Faktor lingkungan ini dibagi menjadi tiga:
a)    Lingkungan Biologis
Faktor lingkungan biologis pada penyakit flu burung yaitu agent. Agent merupakan sesuatu yang merupakan sumber terjadinya penyakit yang dalam hal ini adalah virus aviant influenza (H5N1). Sifat virus ini adalah mampu menular melalui udara dan mudah bermutasi. Daerah yang diserang oleh virus ini adalah organ pernafasan dalam, hal itulah yang membuat angka kematian akibat penyakit ini sangat tinggi.



b)    Lingkungan Fisika
-       Suhu
Pada suhu lingkungan yang tidak optimal baik suhu yang terlalu tinggi maupun terlalu rendah akan berpengaruh terhadap daya tahan tubuh seseorang pada saat itu sehingga secara tidak langsung berpengaruh terhadap mudah tidaknya virus menjangkiti seseorang. Selain itu virus flu burung juga memerlukan suhu yang optimal agar dapat bertahan hidup.
-       Musim
Faktor musim pada penyakit flu burung terjadi karena adanya faktor kebiasaan burung untuk bermigrasi ke daerah yang lebih hangat pada saat musim dingin. Misalkan burung-burung yang tinggal di pesisir utara Cina akan bermigrasi ke Australia dan Asia Tenggara pada musim dingin, burung-burung yang telah terjangkit tersebut akan berperan menularkan flu burung pada hewan yang tinggal di daerah musim panas atau daerah tropis tempat burung tersebut migrasi.
-       Tempat tinggal
Faktor tempat tinggal pada penyakit flu burung misalnya apakah tempat tinggal seseorang dekat dengan peternakan unggas atau tidak, di tempat tinggalnya apakah ada orang yang sedang menderita flu burung atau tidak.

c) Lingkungan sosial
Faktor lingkungan sosial meliputi kebiasaan sosial, norma serta hukum yang membuat seseorang berisiko untuk tertular penyakit. Misalnya kebiasaan masyarakat Bali yang menggunakan daging mentah yang belum dimasak terlebih dahulu untuk dijadikan sebagai makanan tradisional. Begitu pula dengan orang- orang di eropa yang terbiasa mengonsumsi daging panggang yang setengah matang atau bahkan hanya seper-empat matang. Selain itu juga pada tradisi sabung ayam akan membuat risiko penyakit menular pada pemilik ayam semakin besar.


-       Portal of entry and exit
Virus flu burug (H5N1)  masuk ke dalam tubuh manusia melaui udara dan juga melaui mengkonsumsi daging ayam yang terinfeksi virus H5N1. Variasi antigenik virus influenza sering ditemukan melalui drift dan shift antigenik. Drift antigenik terjadi karena adanya perubahan struktur antigenik yag bersifat minor pada permukaan antegen H dan atau N, sedangkan shift antigenik terjadi karena adanya perubahan yang bersifat dominan pada struktur antigenik. Pengaturan kembali struktur genetik virus pada unggas dan manusia diperkirakan merupakan suatu sebab timbulnya strain baru virus pada manusia yang bersifat pandemik (meluas ke berbagai negara). Dalam hal ini virus pada unggas dapat berperan pada perubahan struktur genetik virus influenza pada manusia dengan menyumbangkan gen pada virus galur manusia.Unggas yang menderita flu burung dapat mengeluarkan virus berjumlah besar dalam kotoran (feses) maupun sekreta yang dikeluarkannya. Menurut WHO, kontak unggas liar dengan ungas ternak menyebabkan epidemik flu burung di kalangan uggas. Penularan penyakit terjadi melalui udara dan eskret unggas yang terinfeksi. Virus flu burung mampu bertahan hidup dalam air sampai 4 hari pada suhu 22 derajat celius dan lebih dari 30 hari pada suhu 0 derajat celcius. Di dalam tinja unggas dan dalam tubuh unggas yang sakit, virus dapat bertahan lebih lama, namun akan mati pada pemanasan 60 detajat celcius selama 30 menit atau 90 derajat celcius selama 1 menit



G. Aplikasi epidemiologi terhadap penyakit


a)    Melakukan promosi kesehatan (promkes) terhadap masyarakat luas, terutama mereka yang berisiko terjangkit flu burung seperti peternak unggas.
b)    Melakukan biosekuriti yaitu upaya untuk menghindari terjadinya kontak antara hewan dengan mikroorganisme yang dalam hal ini adalah virus flu burung, seperti dengan melakukan desinfeksi serta sterilisasi pada peralatan ternak yang bertujuan untuk membunuh mikroorganisme pada peralatan ternak sehingga tidak menjangkiti hewan.
c)    Melakukan vaksinasi terhadap hewan ternak untuk meningkatkan kekebalannya. Vaksinasi dilakukan dengan menggunakan HPAI (H5H2)  inaktif dan vaksin rekombinan cacar ayam atau fowlpox dengan  memasukan gen virus avian influenza H5 ke dalam virus cacar.
d)    Menjauhkan kandang ternak unggas dengan tempat tinggal.
e)    Melakukan surveilans dan monitoring yang bertujuan untuk mengumpulkan laporan mengenai morbilitas dan mortalitas, laporan penyidikan lapangan, isolasi dan identifikasi agen infeksi oleh laboratorium, efektifitasvak sinasi dalam populasi, serta data lain yang gayut untuk kajian epedemiologi
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Penyebab flu burung adalah virus influenza tipe A .Virus influenza termasuk famili Orthomyxoviridae. Virus influenza tipe A dapat berubah-ubah bentuk (Drift,Shift), dan dapat menyebabkan epidemi dan pandemi.


SARAN
Untuk ibu dosen Mata kuliah Dasar dasar epidemiologi ke depannya saya berharap ibu bisa membimbing kami dalam bahan pembelajaran yang lain karena saya lihat ibu sangat bagus dalam memberikan penjelasan, singkat, padat dan mudah dipahami.


DAFTAR PUSTAKA
1. Widoyono, 2005, Penyakit Tropis (Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, Dan         Pemberantasannya), Erlangga; Jakarta
2. Nurheti Yuliarti, 2006, Menyingkap Rahasia Penyakit Flu Burung, Andi Yogyakarta; Yogyakarta
3. Anonim, 2005, Artikel Tentang Flu Burung, www.who.go.int  
4. Anonim, 2006, Artikel Tentang Flu Burung, www.depkes.go.id
5. Anonim, 2005, Artikel Dan Lapotran Tentang Perkembangan Kasus Flu Burung,     www.deptan.go.id
6. Soeyoko, Tinjauan Pustaka Flu Burung, Vol.1, No.1 Januari 2007 :
1-50,http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/410715.pdf, di akses tanggal 23 oktober 2011
7. Yudhastuti, Ririh, Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.2, No. 2 Januari 2006 : 183 – 194,http://journal.unair.ac.id/filerPDF/KESLING-2-2-08.pdf, di akses tanggal 23 oktober 2011
8. Wiguna, I Komang Candra, 2009, Peranan Faktor Host, Agent Dan Lingkungan Pada Terjadinya Penyakit Flu Burung, Perjalanan Alamiah Dan Tahap-Tahap Pencegahannya,http://www.scribd.com/doc/20518346/Peranan-Host-Agent-Dan-Lingkungan-Pada-Flu-Burung, di akses tanggal 23 oktober 2011

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

MAKALA PENYAKIT DBD


TUGAS DASAR-DASAR EPIDEMIOLOGI


OLEH


KATA PENGANTAR
            Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat dan hidayah-nyalah sehinggah makalah yang berjudul “PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE.Mata kuliah DASAR-DASAR EPIDEMIOLOGI ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Kami  juga menyadari bahwa makalah  ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, di dalamnya masih banyak terdapat kesalahan, kekeliruan, maupun kekurangan-kekurangan lainnya. Ibarat pepatah mengatakan“ Tak ada gading yang tak retak.” Kendatipun demikian, penulis berharap semoga apa yang telah penulis kerjakan ini bermanfaat bagi semuanya,dan semoga mendapatkan ridha, dari Allah swt.


  Parepare,23 januari 2013

                                                                                          Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................i
DAFTAR ISI ............................................................................................ii
BAB I. LATAR BELAKANG
A.   PANDAHULUAN............................................................................I
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
         I.        PEMBAHASAN.............................................................................4
A.   I.  Perkembangan teori terjadinya penyakit DBD.....................................4
2. Hubungan penyebab dan penyakit DBD.....................................4
3.  Model hubungan kausar penyakit DBD......................................5
4.  Faktor engen penyakit DBD.......................................................5
B.   Tahap-tahap riwayat alami penyakit DBD.......................................6
C.   I.  Upaya pencegahan penyakit.......................................................7
2. Besar kemungkinan pencegahan penyakit DBD........................9
D.   Transisiepidemiologi........................................................................9
E.   Etika epidemiologi penyakit DBD...................................................13
F.    Konsep dasar epidemiologi penyakit DBD.....................................16
1.  Segitiga epidemiologi................................................................16
2.  Portal of entri and exit................................................................21
G.   Aplikasi penyakid DBD....................................................................21

BAB III. PENUTUP
A.   KESIMPULAN .............................................................................23
B.   SARAN ........................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA................................................................................24

BAB I
LATAR BELAKANG
A.   PENDAHULUAN
            Di Indonesia terutama di daerah pedesaan penyakit yang penularannya berkaitan dengan air dan lingkungan masih merupakan masalah bagi masyarakat, sering merupakan penyakit endemis di suatu wilayah dan kadang-kadang timbul sebagai letusan penyakit dan bahkan dapat menimbulkan wabah penyakit.
            Akibatnya produktivitas masyarakat menurun karena banyak kehilangan waktu bekerja (karena sakit), bertambahnya pengeluaran biaya untuk pengobatan dan perawatan penderita, sehingga potensi untuk menabung menurun. Hal tersebut mengakibatkan terhambatnya pembangunan di daerah pedesaan karena masyarakat tidak mampu untuk melakukan investasi pembangunan.
            Pada umumnya masyarakat belum menyadari bahwa penularan penyakit dipengaruhi dua faktor penting yaitu perilaku dan kondisi lingkungan masyarakat sendiri. Masyarakat belum mengerti akan hubungan antara kesehatan dengan perilaku dan kondisi lingkungan. Di daerah pedesaan masih banyak masyarakat yang mempunyai perilaku buang air besar di tempat terbuka, menggunakan air dari sarana yang tidak memenuhi syarat kesehatan misalnya menggunakan air dari sungai untuk minum dan masak.
            Dengan melakukan perilaku praktis sehari-hari, misalnya cuci tangan dengan benar, yaitu dengan menggunakan sabun dan air yang mengalir serta kapan mereka harus cuci tangan, merubah kebiasaan buang air besar di tempat terbuka menjadi perilaku buang air besar di jamban, menjaga kualitas air dan mencegah terjadinya pencemaran air, mulai dari sumber air, cara pengambilan air, cara pengangktan air, cara penyimpanan air, sehingga masyarakat dapat menggunakan air secara hygienis, sudah dapat mencegah terjadinya penularan penyakit. Perilaku praktis tersebut yang belum membudaya di masyarakat.
            Agar para fasilitator masyarakat yaitu tokoh masyarakat, tokoh agama, guru sekolah, pengurus organisasi masyarakat seperti Tim Kerja Masyarakat, Badan Pengelola, dan lain-lain, mampu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahayanya penyakit menular, memberikan motivasi cara pencegahan penyakit, sehingga masyarakat mempunyai perilaku praktis untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan cara pencegahan penyakit, maka para fasilitator tersebut perlu memahamai epidemiologi sederhana beberapa penyakit yang masih merupakan masalah bagi masyarakat.
            Setiap Tahun kita dikejutkan kembali dengan merebaknya penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD), dengan jumlah kasus yang cukup banyak. Hal ini mengakibatkan sejumlah rumah sakit menjadi kewalahan dalam menerima pasien DBD. Untuk mengatasinya pihak rumah sakit menambah tempat tidur di lorong-lorong rumah sakit serta merekrut tenaga medis dan paramedis. Merebaknya kembali kasus DBD ini menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan. Sebagian menganggap hal ini terjadi karena kurangnya kesadaran masyarakat akan kebersihan lingkungan dan sebagian lagi menganggap karena pemerintah lambat dalam mengantisipasi dan merespon kasus ini.

Penyakit Demam Berdarah atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) ialah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk betina Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat ketinggian Lebih dari 1000 meter di atas permukaan air laut.Penyakit DBD sering salah didiagnosis dengan penyakit lain seperti flu atau tipus. Hal ini disebabkan karena infeksi virus dengue yang menyebabkan DBD bisa bersifat asimtomatik atau tidak jelas gejalanya. Data di bagian anak RSCM menunjukkan pasien DBD sering menunjukkan gejala batuk, pilek, muntah, mual, maupun diare. Masalah bisa bertambah karena virus tersebut dapat masuk bersamaan dengan infeksi penyakit lain seperti flu atau tipus. Oleh karena itu diperlukan kejelian, ketelitian dan pemahaman tentang perjalanan penyakit infeksi virus dengue, patofisiologi, dan ketajaman pengamatan klinis dari petugas terhadap pasien yang di duga menerita DBD. Serta pemeriksaan penunjang laboratorium sangat di anjurkan untuk ketepatan dalam mendiagnosa  penyakit DBD terutama bila gejala klinis kurang memadai.

Penyakit DBD pertama kali di Indonesia ditemukan di Surabaya pada tahun 1968, akan tetapi konfirmasi virologis baru didapat pada tahun 1972. Sejak itu penyakit tersebut menyebar ke berbagai daerah, sehingga sampai tahun 1980 seluruh propinsi di Indonesia kecuali Timor-Timur telah terjangkit penyakit. Sejak pertama kali ditemukan, jumlah kasus menunjukkan kecenderungan meningkat balk dalam jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit dan secara sporadis selalu terjadi KLB setiap tahun.

Meningkatnya jumlah kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit, disebabkan karena semakin baiknya sarana transportasi penduduk, adanya pemukiman baru, kurangnya perilaku masyarakat terhadap pembersihan sarang nyamuk, terdapatnya vektor nyamuk hampir di seluruh pelosok tanah air serta adanya empat sel tipe virus yang bersirkulasi sepanjang tahun.

            Departemen kesehatan telah mengupayakan berbagai strategi dalam mengatasi kasus ini. Pada awalnya strategi yang digunakan adalah memberantas nyamuk dewasa melalui pengasapan (fogging), kemudian strategi diperluas dengan menggunakan larvasida (bubuk abate) yang ditaburkan ke tempat penampungan air yang sulit dibersihkan. Akan tetapi kedua metode tersebut sampai sekarang belum memperlihatkan hasil yang maksimal.
            Mayoritas kasus DBD dilaporkan dari Asia di mana penyakit ini telah mempengaruhi sebagian besar negara, dan merupakan penyebab utama rawat inap dan kematian di kalangan anak-anak. Dampak  DBD terhadap kesehatan masyarakat yang nyata terjadi selama wabah penyakit. Perjalanan penyakit DBD sering sukar diramalkan, karena sebagian penderita dengan renjatan yang berat dapat disembuhkan walaupun hanya dengan pengobatan yang sederhana. Selain itu hal ini juga terjadi karena pengawasan yang minim, sehingga tahap awal penularan epidemi biasanya tidak terdeteksi, dengan kasus yang banyak tidak dilaporkan sampai epidemi ini diakui sebagai demam berdarah.
BAB II
TUNJAUAN PUSTAKA
I.        PEMBAHASAN
A.   I. Perkembangan teori terjadinya penyakit demam berdarah
Penyakit DBD disebabkan oleh Virus Dengue. Virus tersebut termasuk dalam group B Arthropod borne viruses (arboviruses). Virus yang banyak berkembang di masyarakat adalah virus dengue. Kasus penyakit ini pertama kali ditemukan di Manila, Filipina pada tahun 1953. Kasus di Indonesia pertama kali dilaporkan terjadi di Surabaya dan Jakarta dengan jumlah kematian sebanyak 24 orang. Beberapa tahun kemudian penyakit ini menyebar ke beberapa propinsi di Indonesia, dengan jumlah kasus sebagai berikut :

            Deman berdarah adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus Dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypt. Nyamuk yang menggigit dan menularkan virus ini adalah dari jenis betina. Nyamuk ini hidup dan berkembang pada tempat-tempat penampungan air bersih yang tidak berhubungan dengan tanah, seperti : bak mandi/WC, tempat penyimpanan air. Nyamuk penyebab deman berdarah ini menggigit pada pagi dan sore hari. Nyamuk ini dapat menggigit beberapa kali setiap hari sehingga dia bisa menularkan virus dari satu orang ke orang kali dalam satu hari .

Perkembangan nyamuk dari telur hingga dewasa memerlukan waktu sekitar 10-12 hari. Kemampuan terbang berkisar antara 40-100 meter dari tempat berkembang biaknya. Tempat istirahat yang disukainya adalah benda-benda yang bergantung di dalam rumah, seperti gordyn, kelambu, baju/pakaian kamar yang gelap dan lembab.

2.  Hubungan penyebab dan penyakit DBD
            Penyakit demam berdarah sampai bereaksi dan menyerang orang sakit mulai dari gigitan nyamuk Aedes Aegypt. Yang menularkan virus dengua dan masuk kedalam tubuh manusia  sehingga dapat menyebar dalam tubuh manusia dan menimbulkan penyakit DBD.
3.    Model hubungan kausar penyakit DBD
·         Single causang
Penyakit demam berdarah disebabkan oleh  virus dan nyamuk dengua.
·         Multiple causa
Penyakkit demam berdarah ini disebabkan karena banyaknya sampah yang digenagi air sehingga nyamuk dapat berkembang biak dan kurangnya kesadaran manusia terhadap kesehatan lingkungan.
·         Myltiple causa

4.    Faktor-faktor agent penyakit Demam Berdarah
a.    Faktor biologi
            Nyamuk Aedes aegypti sangat suka tinggal dan berkembang biak di genangan air bersih yang tidak berkontak langsung dengan tanah. Vektor penyakit DBD ini diketahui banyak bertelur di genangan air yaang terdapat pada sisa-sisa kaleng bekas, tempat penampungan air, bak mandi, ban bekas, dan sebagainya.
            Jumlah penderita DBD umumnya meningkat pada awal musim hujan, di mana banyak terdapat genangan air bersih di dalam sisa-sisa kaleng bekas, dan benda-benda lain yang mampu menampung sisa air hujan. Di daerah urban berpenduduk padat, puncak penderita penyakit DBD bertepatan dengan awal musim kemarau.Perubahan iklim khususnya fluktuasi curah hujan dan kenaikan temperatur bumi ditenggarai sebagai salah satu pemicu makin merebaknya penyakit demam berdarah ini. Sebab akan mempengaruhi siklus hidup vektor nyamuk pembawa virus demam berdarah.
b.    Faktor fisik

            Demam berdarah dengue (DBD) salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue, ditularkan dari seseorang kepada orang lain melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Sehingga orang yang terkena penyakit ini akan merasa trauma dan langsung memerhatikan lingkungannya dengan baik agar tidak terjadi lagi penyakit demam berdarah pada diringa.
c.    Faktor kimiawi
            Cara pengendalian ini antara lain dengan pengasapan ( fogging / dengan menggunakan malathion dan fenthinol ),berguna untuk mengurangi kemungkinan penularan sampai batas waktu tertentu memberikan bubuk abate ( temephos ) pada tempat – tempat penampungan air seperti gentong air, vas bunga, kolam dan lain – lain.Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengan mengkombinasikan cara–cara di atas, yang di sebutkan dengan 3M plus,yaitu menutup,menguras dan mengubur barang – barang yang bisa di jadikan sarang nyamuk. memasang kasa menberikan  dengan insektisida,menggunakan repellent,memasang obat nyamuk dan memeriksa jentik berkala sesuai dengan kondisi setempat.
d.    Faktor sosial
            Penyakit demam berdarah ini di sebabkan karna lingkungan hidup manusia yang tidak masuk kriteria rumah sehat faktor lingkungan fisik rumah yang tidak bersih.Pencahayaan dan kelembaban yang tidak memenuhi syarat akan menimbulkan kepadatan nyamuk, breeding place di dalam rumah dan breeding place di luar rumah akan dapat menimbulkan nyamuk berkembangbiak,resting place dalam rumah juga sangat disenangi nyamuk untuk tempat berkembang biak.

B.   Tahap-tahap Riwayat alamia penyakit Demam Berdarah 
Riwayat alamiah suatu penyakit pada umumnya melalui tahap-tahap sebagai berikut :
a.    Tahap prepatogenesis
            Pada tahap ini individu berada dalam keadaannormal/ sehat tetapi mereka pada dasarnya peka terhadap kemungkinan terganggu oleh serangan agen penyakit (stage of susceptibility). Walaupun demikian pada tahap ini sebenarnya telah terjadi interaksi antara penjamu dengan bibit penyakit. Tetapi interaksi ini masih terjadi di luar tubuh, dalam arti bibit penyakit masih ada di luar tubuh penjamu di mana para kuman mengembangkan potensi infektifitas, siap menyerang penjamu.
b.    Tahap patogenesis
·         Tahap inkubasi
Tahap inkubasi merupakan tenggang waktu antara masuknya bibit penyakit ke dalam tubuh yang peka terhadap penyebab penyakit, sampai timbul gejala penyakit. Masa inkubasi ini  bervariasi antara satu penyakit dengan penyakit lainnya.
·         Tahap dini
Tahap ini mulai dengan munculnya gejala penyakit yang kelihatannya ringan. Tahap ini sudah mulai menjadi masalah kesehatan karena sudah ada gangguan patologis, walaupun penyakit masih dalam masa subklinis. Pada tahap ini, diharapkan diagnosis dapat ditegakkan secara dini.
·         Tahap lanjut.
Pada tahap ini penyakit bertambah jelas dan mungkin bertambah berat dengan segala kelainan klinik  yang jelas, sehingga diagnosis sudah relatif mudah ditegakkan. Saatnya pula, setelah diagnosis ditegakkan, diperlukan pengobatan yang tepat untuk menghindari akibat lanjut yang kurang baik.
·         Tahap pasca patogenesis
Tahap pasca patogenesis/ tahap akhir yaitu berakhirnya perjalanan penyakit yang dapat berada dalam pilihan keadaan, yaitu sembuh sempurna, sembuh dengan cacat, karier, penyakit berlangsung secara kronik, atau berakhir dengan kematian.

C.   1. Upaya Pencegahan Penyakit  Demam Berdarah

            Beaglehole (WHO, 1993) membagi upaya pencegahan menjadi 3 bagian : primordial prevention (pencegahan awal) yaitu pada pre patogenesis, primary prevention (pencegahan pertama) yaitu health promotion dan general and specific protection , secondary prevention (pencegahan tingkat kedua) yaitu early diagnosis and prompt treatment dan tertiary prevention (pencegahan tingkat ketiga) yaitu dissability limitation. Untuk lebih lanjut, akam diuraikan sebagai berikut:
a.    Pencegahan Premordial
            Jenis pencegahan yang paling akhir diperkenalkan, adanya perkembangan pengetahuan dalam epidemiologi penyakit kardiovaskular dalam hubungannya dengan diet, dll. Pencegahan ini sering terlambat dilakukan terutama di negara-negara berkembang karena sering harus ada keputusan secara nasional.
Tujuan premordial prevention ini adalah untuk menghindari terbentuknya pola hidup sosia-ekonomi dan kultural yang mendorong peningkatan resiko penyakit. Upaya ini terutama sesuai untuk ditujukan kepada masalah penyakit tidak menular yan dewasa ini cenderung menunjukkan peningkatannya.
            Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penegahan awal ini diarahkan kepada mempertahankan kondisi dasar atau status kesehatan masyarakat yang bersifat positif yang dapat mengurangi kemungkinan suatu penyakit atau faktor resiko dapat berkembang atau memberikan efek patologis. Faktor-faktor itu tampaknya bersifat sosial atau berhubungan dengan gaya hidup danpola makan. Upaya awal terhadap tingkat pencegahan primordial ini merupakan upaya mempertahankan kondisi kesehatan yang posotif yang dapat melindingi masyarakat dari gangguan kondisi kesehatannya yang sudah baik.
b.    Pencegahan Primer
            Pencegahan primer ini bertujuan untuk mengurangi incidence dengan mengontrol penyebab dan faktor-faktor risiko. Misal : penggunaan kondom dan jarum suntik disposable pada pencegahan infeksi HIV, imunisasi, dll. Biasanya merupakan Population Strategy sehingga secara individual gunanya sangat sedikit : penggunaan seat-belt, program berhenti merokok.
c.     Pencegahan Sekunder
            Pencegahan sekunder bertujuan untuk menyembuhkan dan mengurangi akibat yang lebih  serius lewat diagnosis & pengobatan yang dini. Tertuju pada periode diantara timbulnya penyakit dan waktu didiagnosis & usaha ↓ prevalensi. Dilaksanakan pada penyakit dengan periode awal mudah diindentifikasi dan diobati sehingga perkembangan kearah buruk dapat di stop, Perlu metode yang aman & tepat untuk mendeteksi adanya penyakit pada stadium preklinik. Misal : Screening pada kanker cervik, pengukuran tekanan darah secara rutin.
d.    Besarnya Kemungkinan Pencegahan Penyakit Demam Berdarah
            Pencegahan dilakukan dengan menghindari gigitan nyamuk diwaktu pagi sampai sore, karena nyamuk aedes aktif di siang hari (bukan malam hari). Misalnya hindarkan berada di lokasi yang banyak nyamuknya di siang hari, terutama di daerah yang ada penderita DBD nya. Beberapa cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD melalui metode pengontrolan atau pengendalian vektornya adalah :
a.    Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modifikasi tempat. perkembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan manusia, dan perbaikan desain rumah.
b.     Pemeliharaan ikan pemakan jentik (ikan adu/ikan cupang) pada tempat air kolam, dan bakteri (Bt.H-14).
c.    Pengasapan/fogging (dengan menggunakan malathion dan fenthion).
d.    Memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat penampungan air seperti, gentong air, vas bunga, kolam, dan lain-lain.

D.   Transisi Epidemiologi Demam Berdarah
            Dalam dunia kesehatan kita sering mendengar kata Transisi Epidemiologi, atau beban ganda penyakit. Transisi epidemiologi bermula dari suatu perubahan yang kompleks dalam pola kesehatan dan pola penyakit utama penyebab kematian dimana terjadi penurunan prevalensi penyakit infeksi (penyakit menular), sedangkan penyakit non infeksi (penyakit tidak menular) justru semakin meningkat. Hal ini terjadi seiring dengan berubahnya gaya hidup, sosial ekonomi dan meningkatnya umur harapan hidup yang berarti meningkatnya pola risiko timbulnya penyakit degeneratif seperti penyakit jantung koroner, diabetes melitus, hipertensi, dan lain sebagainya. Ya..mungkin seperti itulah pengertian Transisi Epidemiologi yang saya ketahui.
            Teori transisi epidemiologi sendiri pertama kali dikeluarkan oleh seorang pakar Demografi Abdoel Omran pada tahun 1971. Pada saat itu ia mengamati perkembangan kesehatan di negara industri sejak abad 18. Dia kemudian menuliskan sebuah teori bahwa ada 3 fase transisi epidemiologis yaitu 1)The age of pestilence and famine, yang ditandai dengan tingginya mortalitas dan berfluktuasi serta angka harapan hidup kurang dari 30 tahun, 2)The age of receding pandemics, era di mana angka harapan hidup mulai meningkat antara 30-50 dan 3)The age of degenerative and man-made disease, fase dimana penyakit infeksi mulai turun namun penyakit degeneratif mulai meningkat. gambaran itu memang untuk negara Barat.
            Teori ini kemudian banyak di kritik. Kritikan dari beberapa tokoh seperti Rogers dan Hackenberg (1987) dan Olshansky and Ault(1986) membuat Omran melakukan sedikit revisi. Bagi negara Barat, ketiga model tersebut ditambah 2 lagi yaitu: 4)The age of declining CVD mortality, ageing, lifestyle modification, emerging and resurgent diseases ditandai dengan angka harapan hidup mencapai 80-85, angka fertilitas sangat rendah, serta penyakit kardiovakular dan kanker, serta 5)The age of aspired quality of life with paradoxical longevity and persistent inequalities yang menggambarkan harapan masa depan, dengan angka harapan hidup mencapai 90 tahun tetapi dengan karakteristik kronik morbiditas, sehingga mendorong upaya peningkatan quality of life.
            Selain itu, Omran juga membuat revisi model transisi epidemiologis untuk negara berkembang dengan mengganti fase ketiganya menjadi The age of triple health burden” yang ditandai dengan 3 hal yaitu: a) masalah kesehatan klasik yang belum terselesaikan (infeksi penyakit menular), b)munculnya problem kesehatan baru dan c)pelayanan kesehatan yang tertinggal (Lagging), Namun ketika itu dikaitkan dengan jenis penyakit beberapa pakar menggati beban ketiga itu dengan “New Emerging Infectious Disease” Penyakit menular baru/penyakit lama muncul kembali.
            Indonesia sebagai negara berkembang dekade saat ini dan kedepan diperkirakan akan berada pada fase ketiga ini yaitu “The age of triple health burden”. Tiga beban ganda kesehatan. Kita akan membahas beban ini satu-persatu.Beban pertama yang dihadapi Indonesia adalah masih tingginya angka kesakitan penyakit menular “klasik”. Penyakit ini merupakan masalah kesehatan yang besar di hampir semua Negara berkembang apalagi negara tersebut berada pada daerah tropis dan sub-tropis.
            Angka kesakitan dan kematian relatif cukup tinggi dan berlangsung sangat cepat menjadi masalahnya. Tuberkulosis (TB), Kusta, Diare, DBD, Filarisisi, Malaria, Leptospirosis. Seolah Indonesia sudah menjadi rumah yang nyaman buat mereka tinggal (baca:endemis). Sudah berpuluh-puluh tahun pemerintah kita mencoba membuat program memberantas bahkan mengeliminasi penyakit ini namun penyakit ini belum juga mau pergi dari Indonesia, Sudah Trilyunan Rupiah dikeluarkan agar mereka mau meninggalkan Indonesia, Malah trend kasusnya mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
            Penyakit menular ini merupakan hasil perpaduan berbagai faktor yang saling mempengaruhi. Secara garis besar, biasa kita sebut Segitiga Epidemiologi (Epidemiological Triangle) yaitu lingkungan, Agent penyebab penyakit, dan pejamu. Ketidakseimbangan ketiga faktor inilah yang bisa menimbulkan penyakit tersebut. Kita tidak akan membahasnya satu persatu disini. Informasi lebih jelsnya anda bisa membaca buku tentang Epidemiologi dan Kesehatan Lingkungan.         
            Pencegahan dan penanggulangan penyakit menular secara konsep sebenarnya bisa kita lakukan dengan memutus mata rantai penularan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menghentikan kontak agen penyebab penyakit dengan pejamu. Mengintervensi faktor risiko utama yaitu Modifikasi lingkungan (menciptakan lingkungan yang sehat) dan mengubah perilaku menjadi hidup bersih dan sehat. Namun kedua faktor utama inilah yang sampai sekarang tidak mampu dimodifikasi. Masalahnya cukup kompleks, bisa disebabkan karena kebijakan pemerintah yang belum berpihak pada upaya preventif (pencegahan), Sektor kesehatan merasa bekerja sendiri menyelesaikan masalah kesehatan, Keadaan politik,sosial dan ekonomi menjadi akar masalah kita.

            Beban Kedua yang dihadapi Indonesia adalah tingginya angka kesakitan dan kematian akibat Penyakit Tidak Menular (Non-Communicable Disease). Sebut saja Hipertensi, Diabetes Mellitus, Penyakit Cardiovaskuler (CVD), Ischemic Heart Disese, PPOK, Kanker dan teman-temannya. Masalah utamanya adalah angka kematian akibat penyakit tidak menular (PTM) di Indonesia sudah lebih tinggi daripada kematian akibat penyakit menular.
             pada tahun 1995 kematian akibat penyakit tidak menular sebesar 41,7 persen dan tahun 2007 meningkat menjadi 59,5 persen, ini yang tercatat di pelayanan kesehatan. Ini juga menjadi salah satu masalah PTM sekarang ini, pencatatan yang hampir tidak ada sama sekali di pelayanan kesehatan, sehingga sulit menentukan besaran masalahnya dan menentukan kebijakan di daerah maupun pusat.
            PTM dikenal dengan sebutan Silent Killer, bisa membunuh secara diam-diam, dan ketika terdeteksi oleh penderita, sudah pada tingkat keparahan yang tinggi dan sudah sulit disembuhkan, dan biasanya akan berakhir dengan kecacatan atau kematian. Tidak ada Faktor yang spesifik dan dominan penyebab PTM ini. Faktor risiko penyakit ini cukup banyak dan saling berinteraksi.
            Berbagai penelitian menyebutkan faktor risiko yang sering ditemukan adalah pada perilaku yaitu merokok, minum beralkohol, makanan (Fastfood dengan kolestrol tinggi), dan kurangnya aktivitas fisik. Pencegahan yang bisa kita lakukan ya..dengan mengubah perilaku kita menjadi perilaku yang sehat,menjaga pola makan yang baik dan sehat, sering berolahraga dan hindari rokok dan minum alkohol.
            Beban ketiga yang dihadapi Indonesia adalah munculnya penyakit baru (new emerging Infectious Disease). Sebut saja HIV (1983), SARS (2003), Avian Influenza (2004), H1N1 (2009). Penyakit ini rata-rata disebabkan oleh virus lama yang berganti baju (baca:bermutasi) itulah yang menyebabkan tubuh manusia sering tidak mengenalnya dengan cepat. Akibatnya angka kesakitan dan kematian pada penyakit ini sangat tinggi dan berlangsung sangat cepat.

            Adanya penyakit infeksi yang baru ataupun penyakit infeksi lama yang muncul kembali merupakan konskuensi logis dari sebuah proses evolusi alam, selain itu kemampuan mikroba pathogen untuk mengubah dirinya, manusia dengan perubahan teknologi dan perilakunya juga memberikan peluang kepada mikroba untuk secara alamiah merekayasa dirinya secara genetik, perubahan iklim global juga turut campur dalam timbul dan berkembangnya penyakit baru ini.
            Pengendalian penyakit infeksi baru bermacam-macam pendekatan namun diperlukan pemahaman teradap 2 hal yakni epidemiologi global penyakit atau dinamika penyebaran penyakit secara global dan pemahaman terhadap cara-cara penularan lokal. (Achmadi,2009)

            Dengan melihat gambaran di atas, Indonesia 10-20 tahun kedepan belum mampu mewujudkan Indonesia Sehat. Kami hanya mampu menyarankan kepada anda untuk membantu pemerintah mempercepat terwujudnya Indonesia sehat dengan Berpikir Sehat, Berperilaku bersih dan Sehat, dan Mengajak orang-orang untuk hidup Sehat.

E.    Etika Epidemiologi Penyakit Demam Berdarah
a.     Surveilans Individu
            Surveilans individu (individual surveillance) mendeteksi dan memonitor individu individu yang mengalami kontak dengan penyakit serius, misalnya pes, cacar, tuberkulosis, tifus, demam kuning, sifilis. Surveilans individu memungkinkan dilakukannya isolasi institusional segera terhadap kontak, sehingga penyakit yang dicurigai dapat dikendalikan. Sebagai contoh, karantina merupakan isolasi institusional yang membatasi gerak dan aktivitas orang-orang atau binatang yang sehat tetapi telah terpapar oleh suatu kasus penyakit menular selama periode menular.
            Tujuan karantina adalah mencegah transmisi penyakit selama masa inkubasi seandainya terjadi infeksi (Last, 2001). Isolasi institusional pernah digunakan kembali ketika timbul AIDS pada tahun 1980-an dan SARS.
            Dikenal dua jenis karantina: (1) Karantina total; (2) Karantina parsial. Karantina total membatasi kebebasan gerak semua orang yang terpapar penyakit menular selama masa inkubasi, untuk mencegah kontak dengan orang yang tak terpapar. Karantina parsial membatasi kebebasan gerak kontak secara selektif, berdasarkan perbedaan tingkat kerawanan dan tingkat bahaya transmisi penyakit. Contoh, anak sekolah diliburkan untuk mencegah penularan penyakit campak, sedang orang dewasa diperkenankan terus bekerja. Satuan tentara yang ditugaskan pada pos tertentu dicutikan, sedang di pospos lainnya tetap bekerja.
            Dewasa ini karantina diterapkan secara terbatas, sehubungan dengan masalah legal, politis, etika, moral, dan filosofi tentang legitimasi, akseptabilitas, dan efektivitas langkah-langkah pembatasan tersebut mencapai tujuan kesehatan masyarakat.
b.    Surveilans Penyakit
            Surveilans penyakit (disease surveillance) melakukan pengawasan terus-menerus terhadap distribusi dan kecenderungan insidensi penyakit, melalui pengumpulan sistematis, konsolidasi, evaluasi terhadap laporan-laporan penyakit dan kematian, serta data relevan lainnya. Jadi fokus perhatian surveilans penyakit adalah penyakit, bukan individu.
            Di banyak negara, pendekatan surveilans penyakit biasanya didukung melalui program vertikal (pusat-daerah). Contoh, program surveilans tuberkulosis, program surveilans malaria. Beberapa dari sistem surveilans vertikal dapat berfungsi efektif, tetapi tidak sedikit yang tidak terpelihara dengan baik dan akhirnya kolaps, karena pemerintah kekurangan biaya. Banyak programsurveilans penyakit vertikal yang berlangsung paralel antara satu penyakit dengan penyakit lainnya, menggunakan fungsi penunjang masing-masing, mengeluarkan biaya untuk sumber daya masing-masing, dan memberikan informasi duplikatif, sehingga mengakibatkan inefisiensi.
c.     Surveilans Sindromik
            Syndromic surveillance (multiple disease surveillance) melakukan pengawasan terus-menerus terhadap sindroma (kumpulan gejala) penyakit, bukan masing-masing penyakit. Surveilans sindromik mengandalkan deteksi indikator-indikator kesehatan individual maupun populasi yang bisa diamati sebelum konfirmasi diagnosis. Surveilans sindromik mengamati indikator-indikator individu sakit, seperti pola perilaku, gejala-gejala, tanda, atau temuan laboratorium, yang dapat ditelusuri dari aneka sumber, sebelum diperoleh konfirmasi laboratorium tentang suatu penyakit.
            Surveilans sindromik dapat dikembangkan pada level lokal, regional, maupun nasional. Sebagai contoh, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menerapkan kegiatan surveilans sindromik berskala nasional terhadap penyakit-penyakit yang mirip influenza (flu-like illnesses) berdasarkan laporan berkala praktik dokter di AS. Dalam surveilans tersebut, para dokter yang berpartisipasi melakukan skrining pasien berdasarkan definisi kasus sederhana (demam dan batuk atau sakit tenggorok) dan membuat laporan mingguan tentang jumlah kasus, jumlah kunjungan menurut kelompok umur dan jenis kelamin, dan jumlah total kasus yang teramati. Surveilans tersebut berguna untuk memonitor aneka penyakit yang menyerupai influenza, termasuk flu burung, dan antraks, sehingga dapat memberikan peringatan dini dan dapat digunakan sebagai instrumen untuk memonitor krisis yang tengah berlangsung (Mandl et al., 2004; Sloan et al., 2006).
            Suatu sistem yang mengandalkan laporan semua kasus penyakit tertentu dari fasilitas kesehatan, laboratorium, atau anggota komunitas, pada lokasi tertentu, disebut surveilans sentinel. Pelaporan sampel melalui sistem surveilans sentinel merupakan cara yang baik untuk memonitor masalah kesehatan dengan menggunakan sumber daya yang terbatas (DCP2, 2008; Erme dan Quade, 2010).
d.    Surveilans Berbasis Laboratorium
            Surveilans berbasis laboratorium digunakan untuk mendeteksi dan memonitor penyakit infeksi. Sebagai contoh, pada penyakit yang ditularkan melalui makanan seperti salmonellosis, penggunaan sebuah laboratorium sentral untuk mendeteksi strain bakteri tertentu memungkinkan deteksi outbreak penyakit dengan lebih segera dan lengkap daripada sistem yang mengandalkan pelaporan sindroma dari klinik-klinik.
e.    Surveilans Terpadu
            Surveilans terpadu (integrated surveillance) menata dan memadukan semua kegiatan surveilans di suatu wilayah yurisdiksi (negara/ provinsi/ kabupaten/ kota) sebagai sebuah pelayanan publik bersama. Surveilans terpadu menggunakan struktur, proses, dan personalia yang sama, melakukan fungsimengumpulkan informasi yang diperlukan untuk tujuan pengendalian penyakit. Kendatipun pendekatan surveilans terpadu tetap memperhatikan perbedaan kebutuhan data khusus penyakit-penyakit tertentu.
f.     Surveilans Kesehatan Masyarakat Global
            Perdagangan dan perjalanan internasional di abad modern, migrasi manusia dan binatang serta organisme, memudahkan transmisi penyakit infeksi lintas negara. Konsekunsinya, masalah-masalah yang dihadapi negara-negara berkembang dan negara maju di dunia makin serupa dan bergayut. Timbulnya epidemi global (pandemi) khususnya menuntut dikembangkannya jejaring yang terpadu di seluruh dunia, yang manyatukan para praktisi kesehatan, peneliti, pemerintah, dan organisasi internasional untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan surveilans yang melintasi batas-batas negara. Ancaman aneka penyakit menular merebak pada skala global, baik penyakit-penyakit lama yang muncul kembali (re-emerging diseases), maupun penyakit-penyakit yang baru muncul (newemerging diseases

F.    Konsep Dasar Epidemiologi Penyakit Demam Berdarah
I.  Segitiga Epidemiologi
Segitiga epidemiologi adalah modal utama yang harus dimiliki oleh seorang epideniolog. Ini merupakan teori dasar yang terkenal sejak disiplin ilmu epidemiologi mulai digunakan di dunia. Dalam bidang epidemiologi terdapat sedikitnya 3 segitiga epidemiologi yang saling terkait satu sama lain yaitu, 1. Agent-Host-Environment (AHE), 2. Person-Place-Time (PPT), 3. Frekuensi- Distribusi- Determinan (FDD).
v  HOST, AGENT, ENVIRONTMENT
Segitga epidemiologi ini sangat umum digunakan oleh para ahli dalam menjelasakan kosep berbagai permasalahan kesehatan termasuk salah satunya adalah terjainya penyakit. Hal ini sangat komprehensif dalam memprediksi suatu penyakit. Terjadinya suatu penyakit sangat tergantung dari keseimbangan dan interaksi ke tiganya.
a.    Host

            Host atau penajmau ialaha keadaan manusia yang sedemikan rupa sehingga menjadi faktor risiko untuk terjadinya suatu penyakit. Faktor ini di sebabkan oleh faktor intrinsik. Factor penjamuyang biasanya menjkadi factor untuk timbulnya suatu penyakit sebagai berikut:
·         Umur. Misalnya, usia lanjut lebih rentang unutk terkena penyakit karsinoma, jantung dan lain-lain daripada yang usia muda.
·          Jenis kelamin (seks). Misalnya , penyakit kelenjar gondok, kolesistitis, diabetes melitus cenderung terjadi pada wanita serta kanker serviks yang hanya terjadi pada wanita atau penyakit kanker prostat yang hanya terjadi pada laki-laki atau yang cenderung terjadi pada laki-laki seperti hipertensi, jantung.
·          Ras, suku (etnik). Misalnya pada ras kulit putih dengan ras kulit hitam yang beda kerentangannay terhadapa suatu penyakit.
·         Genetik (hubungan keluarga). Misalnya penyakit yang menurun seperti hemofilia, buta warna, sickle cell anemia.
b.    Agent
yang disebabkan oleh berbagai unsur seperti unsur biologis yang dikarenakan oleh mikro organisme (virus, bakteri, jamur, parasit, protzoa, metazoa), unsur nutrisi karena bahan makanan yang tidak memenuhi standar gizi yang ditentukan, unsur kimiawi yang disebabkan karena bahan dari luar tubuh maupun dari dalam tubuh sendiri (karbon monoksid, obat-obatan, arsen, pestisida), unsur fisika yang disebabkan oleh panas, benturan, serta unsur psikis atau genetik yang terkait dengan heriditer atau keturun. Demikian juga dengan unsur kebiasaan hidup (rokok, alcohol), perubahan hormonal dan unsur fisioloigis seperti kehamilan, persalinan.
c.    Environment
       Faktor lingkungan adalah faktor yang ketiga sebagai penunjang terjadinya penyakit, hali ini Karen faktor ini datangnya dair luar atau bisas disebut dengan faktor ekstrinsik. Faktor lingkungan ini dapat dibagi menjadi:
  • Faktor lingkungan yang mempengaruhi Host dan Agent
  • Fisik: iklim (kemarau dan hujan), geografis (pantai dan pegunungan), demografis (kota dan desa)
  • Biologis: flora dan fauna
  • Sosial: migrasi/urbanisasi, lingkungan kerja, perumahan, bencana alam, perang, banjir
2.    PORTAL OF ENTRY AND EXIT
            Nyamuk Aedes dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang ­­­biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya (transovanan transmission), tetapi perannya dalam penularan virus tidak penting. Sekali virus dapat masuk dan berkembangbiak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif).
G.   Aplikasi Penyakit Demam Berdarah
               Tim terlebih dahulu merumuskan masalah tentang aplikasi penyakit demam berdarah. Rumusan ini akan membahas tentang apa fungsi dari aplikasi ini, tujuan dari pembuatan aplikasi sehingga nantinya akan menunjang pembuatan aplikasi  nantinya dapat berfungsi dengan baik.Aplikasi  data dilakukan dengan melakukan analisis dan identifikasi terhadap pemasalahan dan data – data penunjang yang telah di dapatkan melalui metode sebelumnya. Sehingga tim akan mendapatkan informasi sistem seperti apa yang diharapkan, dan apa saja yang dibutuhkan dalam proses pembuatan aplikasi ini.

               Dokter mandiri merupakan sebuah aplikasi yang akan dibuat dan nantinya akan meminta inputan dari user seperti nama use, Tekanan darah, Umur,dan Jenis Kelamin. Setelah itu user dapat menggunakan segala hal yang disediakan di dalam aplikasi Dokter mandiri. Yang mana nantinya akan terdiri menu-menu seperti menu penanganan dan pencegahan penyakit Demam Berdarah Dengue


BAB III
PENUTUP
A,KESIMPULAN DAN SARAN
           
            Kesimpulannya yaitu pertahankan cara ibu mengajar,karna saya sangat suka dengan cara ibu menjelaskan,dan kami cepat mengerti tantang materi yang ibu jelaskan.dalam proses belajar saya tidak merasa lelah dalam kelas, karena ibu sering bercanda sehingga membuat kami  tidak mengantuk.dan juga ibu rajin masuk mengajar kami.

            Mohon maaf sebelumnya ibu,saran saya yaitu kalau ibu memberikan tugas kepada kami,kalau bisa jangan terlalu banyak dan susah.karna masih banyak juga tugas dari dosen.


DAFTAR PUSTAKA

Hidayati  Nurul, 2011,’’sejarah terjadinya penyakit Demam Berdarah Dengue".

Suroso Thomas, 2003, "Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Berdarah Dengue",

                           (di aplikasikan kamis,2 Maret 2011), compas com.

Desilvia Hendy ,2012, "upaya pencegahan penyakit DBD".

Aprili Rizki , 2010, "Informasi Penyakit Menular Demam Berdarah".



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS