BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Gizi merupakan salah
satu faktor penentu utama kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Peran gizi dalam
pembangunan kualitas SDM telah dibuktikan dari berbagai penelitian. Gangguan
gizi pada awal kehidupan akan mempengaruhi kualitas kehidupan berikutnya. Gizi
kurang pada balita tidak hanya menimbulkan gangguan pertumbuhan fisik, tetapi
juga mempengaruhi kecerdasan dan produktifitas dimasa dewasa. (Supariasa dkk,
2001) Pengaruh krisis moneter yang menimpa masyarakat indonesia dewasa ini
telah menyebabkan penurunan pendapatan masyarakat dan peningkatan harga pangan
dalam kehidupan sehari-hari pengaruh tersebut sangat dirasakan dalam bentuk
pengurangan jumlah dan mutu komsumsi makanan sehari (Supariasa dkk, 2001).
Kesulitan ini yang akhirnya memperparah keadaan status gizi dan kesehatan
anggota keluarga yang tergolong rawan, salah satu diantaranya adalah anak
balita Yayasan Mitra Husada, (2003). Menurut World Health Organization (WHO)
tahun 2004 terdapat sekitar 54% balita didasari oleh keadaan gizi yang jelek.
Dan di Indonesia menurut Depertemen Kesehatan (2007) pada tahun 2006 terdapat
sekitar 27,5% (5 juta balita gizi kurang dan gizi buruk), 3,5 juta anak balita
atau sekitar (19,19 %) dalam tingkat gizi kurang, dan 1,5 juta anak balita gizi
buruk (8,3 %). Tahun 2008 berdasarkan data SUSENAS prevalensi status gizi anak
balita untuk gizi kurang sebesar 19,20 % dan gizi buruk 8,8 %. Tidak ada
penurunan yang berantai antara tahun 2006 dan 2008, (http://www
luwuutara.go.id.
Berdasarkan hasil
pemantauan status gizi balita kabupaten Pinrang tahun 2007, ditemukan balita
dengan gizi kurang sebanyak 174 atau 48,60% dari total balita Bawah Garis Merah
(BGM) yang berjumlah 358 balita, dan sebanyak 184 balita gizi buruk atau
sekitar 51,39% dari total balita BGM. Pada tahun 2008 balita dengan gizi kurang
menurun menjadi 172 orang atau 46,36% dari balita BGM yang berjumlah 371
balita, dan balita gizi buruk mengalami peningkatan menjadi sebanyak 199 balita
atau sekitar 53,64% dari balita BGM. Sementara itu, pada tahun 2009 balita
dengan gizi kurang meningkat menjadi 365 orang atau 81,84% dari balita BGM yang
berjumlah 446 balita, dan balita gizi buruk mengalami penurunan menjadi hanya
sebanyak 81 balita atau sekitar 18,16% dari balita BGM, (Dinkes Kabupaten
Pinrang 2009).
Kecamatan Lembang pada
tahun 2007 jumlah balita BGM 19 dan gizi kurang 15 balita dan gizi buruk 2
balita dari 4358 balita atau sekitar 0,43 % dan tahun 2008 yaitu jumlah balita
BGM 22 balita dan gizi kurang 13 balita dan gizi buruk 2 balita dari 4955
balita atau sekitar 0,44 %, pada tahun 2009 jumlah balita BGM 25 balita dan
gizi kurang 29 balita dan gizi buruk 1 balita dari 5311 atau sekitar 0,54%. Dan
tahun 2010 jumlah balita BGM 25 dan gizi kurang 33 balita dan gizi buruk 1
balita dari 5365 atau sekitar 0,26%, (Dinkes Kab. Pinrang, 2009).
Berdasarkan hasil pemantauan status gizi
balita Puskesmas Suppa di Kecamatan Suppa tahun 2007, ditemukan balita dengan
gizi kurang sebanyak 15 atau 0,15 % dari total balita Bawah Garis Merah (BGM)
yang berjumlah 19 balita, dan sebanyak 2 balita gizi buruk atau sekitar 0,2 %
dari total balita BGM. Pada tahun 2008 balita dengan gizi kurang menurun
menjadi 13 orang atau 0,13 % dari balita BGM yang berjumlah 22 balita, dan
balita gizi buruk 2 balita dan tidak mengalami peningkatan. Sementara itu, pada
tahun 2009 balita dengan gizi kurang meningkat menjadi 29 orang atau 0,29 %
dari balita BGM yang berjumlah 25 balita, dan balita gizi buruk mengalami
penurunan menjadi hanya sebanyak 1 balita atau sekitar o,1 % dari balita BGM,
(Dinas Kesehatan Kab. Pinrang, 2009).
Pada tahun 2007, di
Desa Rajang ditemukan balita dengan gizi kurang sebanyak 10 atau 0,10 % dari
total balita Bawah Garis Merah (BGM) yang berjumlah 11 balita, dan sebanyak 0
balita gizi buruk. Pada tahun 2008 balita dengan gizi kurang peningkatan
menjadi 22 orang atau 0,22 % dari balita BGM yang berjumlah 15 balita, dan
balita gizi buruk tidak mengalami kenaikan. Sementara itu, pada tahun 2009
balita dengan gizi kurang meningkat menjadi 19 orang atau 0,19 % dari balita
BGM yang berjumlah 15 balita, dan balita gizi buruk tidak mengalami perubahan.
Pada tahun 2010 balita gizi kurang meningkat menjadi 30 orang atau 20 %. Desa
Polewali merupakan desa dengan kasus gizi kurang tertinggi dibandingkan dengan
desa - desa lain dalam wilayah kerja Puskesmas Suppa, (Puskesmas Suppa, 2010).
Terdapat banyak faktor
yang diduga mempengaruhi kejadian status gizi kurang kurang di Desa Rajang,
diantaranya adalah pola makan, pola pengasuhan anak, pendapatan keluarga. Salah
satu kejadian yang menentukan status gizi anak balita adalah besarnya asupan
makanan.
Pola pengasuhan anak
berpengaruh terhadap pemberian makanan dari orang tua kepada anaknya.
Pengasuhan anak dapat berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuhan lain dalam
hal kedekatan dengan anak, memberikan makanan, merawat kebersihan memberikan
kasih sayang dan sebagainya. Kesemuanya berhubungan dengan keadaan ibu dalam
hal kesehatan (fisik dan mental), status gizi, pendidikan, pengetahuan dan
keterampilan tentang pengasuhan anak yang buruk, peran dalam keluarga atau
masyarakat, sifat pekerjaan, adat kebiasaan keluarga dan masyarakat dari si ibu
dan pengasuh anak, (Depkes RI 2001).
Pola makan mempengaruhi status gizi anak
balita secara langsung. Status gizi sangat berperan terhadap kesehatan anak
balita, dimana anak balita yang mengalami status gizi kurang cenderung akan
mengalami gangguan kesehatan.
Kardjati, dkk (1985),
Pola makan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai macam
dan jumlah bahan makanan yang di makanan tiap hari olen satu orang dan
merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu. Kejadian pola
makana ialah interaksi antara orang tua dan anak soal makanan. Orang tua
sebaiknya selalu memberikan perhatian khusus tentang makanan anak. Infeksi
tidak ditentukan oleh seberapa lama orang tua berinteraksi dengan anak, tetapi
lebih ditentukan oleh kualitas dari intraksi tersebut yaitu pemahaman terhadap
kebutuhan masing-masing dan upaya optimal untuk memenuhi kebutuhan tersebut
yang dilandasi oleh rasa kasih sayang, (Supariasa dkk, 2001).
Pola pengasuhan anak
adalah aktivitas yang berhubungan dengan pemenuhan pangan, pemeliharahan fisik
dan perhatian terhadap anak. Pengasuhan anak meliputi aktivitas perawatan
terkait gizi / persiapan makan dan menyusui, pencegahan dan pengobatan
penyakit, memandikan anak, membersikan rumah.
Berdasarkan pengertian
tersebut “ Pengasuhan “ pada dasarnya adalah suatu praktek yang dijalankan oleh
orang yang lebih dewasa terhadap anak yang dihubungkan dengan penemuan
kebutuhan pangan atau tempat tinggal yang layak, hygiene perorangan, sanitasi
lingkungan, sandang, kesegaran jasmani, (Soetjiningsih, 1995 ).
Rendahnya pendapatan
keluarga menyebabkan keluarga tidak dapat leluasa membelanjakan pendapatannya
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga dalam keputusan terakhir keluarga
umumnya akan lebih mendahulukan pemenuhan kebutuhan dasar, terutama makanan
(Yayasan Mitra Husada 2003), dalam Tuti Aditama (2004).
Berdasarkan latar belakang diatas maka
peneliti tertarik untuk meneliti Faktor yang berhubungan Kejadian Gizi Pada Anak Balita di Puskesmas
Suppa Kecamatan Suppa Kabupaten Pinrang.
B. Rumusan Masalah
A. Adakah hubungan pola makan dengan kejadian
status gizi ?
B. Adakah hubungan pola asuh anak terhadap
kejadian status gizi ?
C. Adakah hubungan
tingkat pendapatan keluarga dengan kejadian status gizi ?
C. Tujuan Penelitian
1.
Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor
yang berhubungan kejadian status gizi pada Anak Balita Umur 1 – 4 tahun di Desa
Rajang Kecamatan Lembang Kabupaten Pinrang Tahun 2011 2.
2. Tujuan
khusus
a. Untuk
mengetahui hubungan antar pola makan dengan status gizi pada Anak balita Umur 1
–4 tahun di Desa Rajang Kecamatan Lembang Kabupaten Pinrang Tahun 2011.
b. Untuk
mengetahui hubungan antara pola pengasuhan anak dengan status gizi pada anak
balita Umur 1 – 4 tahun di Desa Rajang Kecamatan Lembang Kabupaten Pinrang
Tahun 2011.
c. Untuk
mengetahui hubungan antara pendapatan keluarga dengan status gizi pada anak balita
Umur 1 – 4 tahun di Desa Rajang Kecamatan Lembang Kabupaten Pinrang Tahun 2011.
1.
Manfaat
Penelitian
1. Manfaat Ilmiah
Hasil penelitian ini akan menambah
literature dalam ilmu pengetahuan khususnya yang berhubungan dengan kejadian
status gizi kurang pada anak balita dan hasil penelitian dapat dijadikan
referensi pada penelitian selanjutnya.
2. Manfaat
Praktis
Hasil penelitian ini
dihararapkan untuk memberikan masukan kepada pihak pemerintah khususnya
pemerinta daerah dinas kesehatan kabupaten pinrang mengenai masalah status gizi
kurang pada anak balita.
3. Manfaat
Bagi Peneliti
Peneliti ini merupakan
pengalaman berharga bagi peneliti yang akan menambah pengetahuan mengenai
kejadian status gizi kurang pada anak balita
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan
Umum Tentang Status Gizi
Status gizi Balita
adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penanggulangan zat-zat
gizi. Dibedakan antara status gizi kurang, buruk, baik, lebih (Almatsier,
2001). Status gizi adalah suatu keadaan akibat keseimbangan antara konsumsi dan
penyerapan zat gizi dan penggunaannya atau, keadaan fisiologi akibat dari
tersedianya zat gizi dalam struktur tubuh. Status gizi merupakan gambaran
keseimbangan antara kebutuhan terhadap zat gizi dengan penggunaannya dalam tubuh,
(Supriasa, 2001).
Status gizi merupakan
gambaran tentang apa yang dikonsumsi dalam jangka waktu lama. Keadaan gizi
merupakan gizi kurang dan gizi lebih. Apabila terjadi kekurangan salah satu zat
gizi maka dapat menimbulkan gangguan berupa defesiensi penyakit, (Supriasa,
2002).
Gizi merupakan suatu
proses organisme menggunakan makan yang dikonsumsi secara normal melalui proses
digesti absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat -
zat yang digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi
normal dari organ - organ, serta menghasilkan energi. Status gizi merupakan
ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel-variabel tertentu,
atau perwujudan dari nutriture, (Supriasa, 2002).
Keadaan gizi merupakan
akibat dari keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan zat gizi dan penggunaan
zat gizi tersebut, atau keadaan fosiologik akibat dari tersedianya zat gizi
dalam seluler tubuh, (Supriasa, 2002). Keadaan gizi seimbang antara zat gizi
dengan kebutuhan akan menyebabkan kelainan patologi bagi tubuh manusia, keadaan
tersebut malmutrisi.
Bentuk kelainan
digolongkan menjadi 4 macam yaitu :
a. Undernutrition,
yaitu kekurangan komsumsi pangan secara relatif dan absolute dalam bentuk
tertentu.
b. Spesifik
depesiensi yaitu kekurangan zat gizi tertentu.
c. Overnutrition
yaitu kelebihan konsumsi zat gizi dalam priode tertentu.
d. Imbalance, ketidak seimbangan karena disporsi
zat gizi tertentu (Supriasa dkk, 2002)
Menurut Supriasa dkk
(2002), ada beberapa cara yang dilakukan untuk menilai status gizi adalah
1. Penilaian
status gizi secara langsung
a. Antropometri
Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut
pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam
pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan
tingkat Gizi, (Supariasa, dkk., 2006).
Antropometri sebagai
indikator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter.
Parameter adalah ukuran
tunggal dari tubuh manusia yaitu seperti umur, berat badan, tinggi badan,
lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul, dan tebal
lemak dibawah kulit.
Kombinasi antara beberapa parameter disebut
indeks antropometri.
Beberapa indeks
antropometri yang sering digunakan yaitu:
1) Berat
Badan menurut Umur (BB/U) c Sebaliknya dalam keadaan yang
abnormal,terdapat dua
kemungkinan perkembangan berat badan,yaitu dapat berkembang secara cepat atau
lebih lambat dari keadaan yang normal.
2) Tinggi
Badan menurut Umur (TB/U) tinggi badan menggambarkan keadaan
pertumbuhan skeletal
(Tulang). Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh wiring dengan pertambahan
umur. Pengaruh defesiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam
waktu yang relatif lama.
3) Berat
Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) dalam keadaan normal perkembangan
berat badan akan searah
dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu.
a. Indeks
BB/TB merupakan indeks yang independen terhadap umur.
b. Klinis
Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat
penting untuk menilai status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas
perubahan-perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidak cukupan zat
gizi . Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel (supervicial epithelial
tissues) seperti kulit, mata, mats, rambut dan mukosa oral atau pada
organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid,
(Supariasa, dkk.,2006).
c. Biokimia
Penilaian status gizi
dengan biokimia adalah pemeriksaan specimen yang diuji secara laboratories yang
dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan
antara lain : darah, urine, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati
dan otot, (Supariasa, dkk., 2006).
d. Biofisik
metode penentuan status
gizi dengan melihat kemampuan fungsi (Khususnya, jaringan) dan melihat
perubahan struktur darijarinagan.
Umumnya digunakan dalam
situasi tertentu seperti kejadian buta senja endemik.
2. Penilaian
Status gizi secara tidak langsung
Sedangkan penilaian
status gizi secara tidak langsung terbagi atas tiga yaitu survei konsumsi
makanan, statistik vital dan faktor ekologi.
a. Survei
Konsumsi Makanan
Survei konsumsi makanan
adalah metode penentuan status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah
dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Pengumpulan data komsumsi makanan yang
dapat memberikan gambaran tentang komsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat,
keluarga dan individu.
b. Statistik
Vital
Pengukuran gizi dengan
statistik vital adalah dengan menganalisis data beberapa statistik kesehatan
seperti angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian sebagai
akibat penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi,
(Supariasa, dkk., 2006).
c. Faktor
ekologi
Malnutrisi merupakan
masalah ekologi sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis dan
lingkungan budaya. Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung dari keadaan
ekologi seperti iklim, tanah, irigasi dan lain-lain. Pengukuran faktor ekologi
dipandang sangat penting untuk mengetahui penyebab malnutrisi di suatu
masyarakat sebagai dasar untuk melakukan program intervensi gizi, (Supariasa,
dkk., 2006).
Salah satu standar
pengukuran yang digunakan di Indonesia dalam menetapkan kategori status gizi
(cut off : berdasarkan kesepakatan gizi, januari 2000) adalah sebagai berikut:
1. Indikator pengukuran BB/U a. Kurang : < - 2 SD sampai ≥ -3 SD b. Baik : ≥
-2 SD sampai + 2 SD 2. Indikator pengukuran TB/U a. Normal : ≥ -2 SD b. Pendek
bila : < -2 SD 3. Indikator pengukuran BB/TB a. Gemuk : > + 2 SD
a. Normal : ≥ -2 SD sampai + 2 SD
b. Kurus : < -2 SD sampai ≥ -3 SD
c. Sangat
kurus : < -3 SD
Gizi kurang adalah
gangguan kesehatan akibat kekurangan atau ketidak seimbangan zat gizi yang
diperlukan untuk pertumbuhan, aktivitas berfikir dan semua hal yang berhubungan
dengan kehidupan kekurangan zat gizi adaptif bersifat ringan sampai berat, gizi
kurang banyak terjadi pada anak usia kurang dari 5 tahun.
Secara umum, kurang
gizi adalah salah satu istilah dari penyakit malnutrisi energi-protein (MEP),
yaitu penyakit yang diakibatkan kekurangan energi protein. Kekurangan Energi
Protein (KEP) adalah keadaan gizi yang disebabkan oleh rendahnya komsumsi
energi dan protein dalam makanan sehari sehingga tidak memenuhi Angka Kecukupan
Gizi (AKG) (Direktorat Bina Gizi Masyarakat, 1981).Kondisi gizi kurang timbul
bila energy dan zat gizi lain tidak dikonsumsi dalam jumlah yang cukup untuk
pertumbuhan dan untuk fungsi lainnya.
Kekurangan energi
protein (KEP) merupakan penyakit defisiensi gizi yang paling umum dijumpai di
dunia dan perkiraan sekitar seratus juta anak-anak yang menderita gizi kurang
pada tingkat sedang dan berat. Kurang gizi dipengaruhi oleh banyak faktor yang
saling terkait. kondisi gizi kurang disebabkan oleh masukan (intake) energy dan
protein yang kurang dalam waktu yang cukup lama.
Gizi kurang disebabkan
oleh beberapa faktor.
Pertama
adalah faktor pengadaan makanan yang kurang mencukupi suatu wilayah tertentu.
Hal ini bisa jadi disebabkan oleh kurangnya potensi alam atau kesalahan
distribusi.
kedua,
adalah dari segi kesehatan sendiri, yakni adanya penyakit kronis terutama
gangguan pada metabolisme atau penyerapan makanan.
Selain itu, ada tiga
hal yang saling kait mengkait dalam hal gizi buruk, yaitu kemiskinan,
pendidikan rendah dan kesempatan kerja rendah. Ketiga hal itu mengakibatkan
kurangnya ketersediaan pangan di rumah tangga dan pola asuh anak keliru. Hal
ini mengakibatkan kurangnya asupan gizi dan balita sering terkena infeksi
penyakit, (Mardiansyah, 2008).
Gizi kurang dipengaruhi
oleh banyak faktor yang saling terkait.
Secara garis besar
penyebab anak kekurangan gizi disebabkan karena asupan makanan yang kurang atau
anak sering sakit/terkena infeksi, Asupan yang kurang disebabkan oleh banyak
faktor antara lain :
1. Tidak
tersedianya makanan secara adekuat, Tidak tersedianya makanan yang adekuat
terkait
langsung dengan kondisi
sosial ekonomi. Kadang kadang bencana alam, perang, maupunkebijaksanaan politik
maupun ekonomi yang memberatkan rakyat akan menyebabkan hal ini. Kemiskinan
sangat identik dengan tidak tersedianya makan yang adekuat. Data Indonesia dan
negara lain menunjukkan bahwa adanya hubungan timbal balik antara kurang gizi
dan kemiskinan. Kemiskinan merupakan penyebab pokok atau akar masalah gizi
buruk. Proporsi anak malnutrisi berbanding terbalik dengan pendapatan. Makin
kecil pendapatan penduduk, makin tinggi persentasi anak yang kekurangan gizi.
2. Anak
tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang, Makanan alamiah terbaik bagi
bayi yaitu Air Susu
Ibu, dan sesudah usia 6 bulan anak tidak mendapat Makanan Pendamping ASI
(MP-ASI) yang tepat, baik jumlah dan kualitasnya akan berkonsekuensi terhadap
status gizi bayi. MP-ASI yang baik tidak hanya cukup mengandung energi dan
protein, tetapi juga mengandung zat besi, vitamin A, asam folat, vitamin B
serta vitamin dan mineral lainnya. MP-ASI yang tepat dan baik dapat disiapkan
sendiri di rumah. Pada keluarga dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang
rendah seringkali anaknya harus puas dengan makanan seadanya yang tidak
memenuhi kebutuhan gizi balita karena ketidaktahuan.
3. Pola
makan yang salah, Pola pengasuhan anak berpengaruh pada timbulnya gizi buruk.
Anak yang diasuh ibunya sendiri dengan kasih sayang, apalagi ibunya
berpendidikan, mengerti soal pentingnya ASI, manfaat posyandu dan kebersihan,
meskipun sama-sama miskin, ternyata anaknya lebih sehat. Unsur pendidikan
perempuan berpengaruh pada kualitas pengasuhan anak. Sebaliknya sebagian anak
yang gizi buruk ternyata diasuh oleh nenek atau pengasuh yang juga miskin dan
tidak berpendidikan. Banyaknya perempuan yang meninggalkan desa untuk mencari
kerja di Kota bahkan menjadi TKI, kemungkinan juga dapat menyebabkan anak
menderita gizi buruk. Kebiasaan, mitos ataupun kepercayaan / adat istiadat
masyarakat tertentu yang tidak benar dalam pemberian makan akan sangat
merugikan anak . Misalnya kebiasaan memberi minum bayi hanya dengan air putih,
memberikan makanan padat terlalu dini, berpantang pada makanan tertentu
(misalnya tidak memberikan anak anak daging, telur, santan dll), hal ini
menghilangkan kesempatan anak untuk mendapat asupan lemak, protein maupun
kalori yang cukup.
B. Tinjauan Umum Tentang Pola Makan
Dalam kamus bahasa Indonesia, pola diartikan
sebagai suatu system, cara kerja atau usaha untuk melakukan sesuatu. Dengan
demikian, pola makan yang sehat dapat diartikan sebagai suatu cara atau usaha
untuk melakukan kegiatan makan secara sehat, (Depniknas, 2001).
Pola makan adalah
berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai macam dan jumlah makanan
yang dimakan tiap hari oleh suatu kelompok masyarakat tertentu.
Pola makan di suatu
daerah berubah - ubah sesuai dengan perubahan faktor atau kondisi setempat yang
dapat dibagi dalam dua kelompok. Pertama adalah faktor yang berhubungan dengan
persediaan atau pengadaan pangan dalam kelompok ini termasuk faktor geografi,
iklim, kesuburan tanah yang dapat mempengaruhi jenis tanaman dan jumlah
produksinya di suatu daerah, bahan pangan yang erat kaitannya dengan tinggi
rendahnya persediaan disuatu daerah, (Almatsier, 2001).
Pola makan adalah
jumlah makanan dan jenis serta banyaknya bahan makanan dalam pola pangan,
disuatu Negara atau daerah tertentu, biasanya berkembang dari daerah setempat
atau dari pangan yang telah ditanam ditempat tersebut untuk jangka waktu yang
panjang, (Suhadjo, 2003).
Pola makan adalah
berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai macam dan jumlah bahan
makanan yang di makan tiap hari oleh satu orang dan merupakan ciri khas untuk
suatu kelompok masyarakat tertentu, (Kardjati, dalam Asmuliati 2005).
Pola makan adalah
susunan makanan yang dikonsumsi setiap hari untuk mncukupi kebutuhan tubuh,
baik kuantitas maupun kualitasnya. Kualitas menunjukkan adanya semua zat gizi
yang diperlukan oleh tubuh dalam susunan makanan sadangkan kuantitas
menunjukkan kuantum masing - masing zat gizi terhadap kebutuhan tubuh, (suhardjo,
dalam Dewi Sartika, 2005). Timbulnya masalah gizi disebabkan oleh pola makan
yang salah disebabkan karena kurangnya pengetahuan mereka tentang pola makan
gizi seimbang, (Rizal, dalam Hariani 2005).
Pola makan yang baik
selalu mengacu kepada gizi seimbang yaitu terpenuhinya semua zat gizi sesuai
dengan kebutuhan dan seimbang. Tidak diragukan, terhadap enam unsur zat gizi
yang harus terpenuhi yaitu karbohidrat, protein lemak, vitamin, mineral dan
air. Karbohidrat, protein dan lemak merupakan zat gizi makro sebagai sumber
energi, sedangkan vitamin dan mineral mrupakan zat gizi mikro sebagai
pengaturan kelancaran metabolisme tubuh, (Muliarini, 2010). Pola hidup yang
sehat sangat terkait erat dengan pola makan yang sehat,untuk memiliki pola
makan yang sehat, dibutuhkan pemahaman mendasar terkait dengan konsep kesehatan
dan konsep makanan yang sehat, (Kusumah, 2007).
Segala yang terkaitan
dengan pengaturan makanan (pola makan dan pengaturan jenis makanan beserta
kandungan gizi suatu zat makanan) bertujuan untuk mmenuhi keseimbangan zat
dalam tubuh kita untuk mencapai kehidupan yang optomal, (Kusumah, 2007).
Pola makan harus sesuai
dengan siklus pencernaan dan kemampuan fungsi pncernaan, pengaturan pola makan
yang anda lakukan dapat dinilai tingkat keberhasilannya, salah satunya adalah
dengan melakukan perbandingan nilai postur tubuh, (Kusumah 2007).
Pola makan sering kali
dikaitkan dengan pengobatan karena makan merupakan penentuan proses metabolisme
pada tubuh kita.
Pakar kesehatan selama
ini menilai 2 bentuk pengobatan yaitu :
a. Pengobatan
sebalum terjangkit, yang sering disebut pencegahan.
b. Pengobatan setelah terjangkit, (Kusumah 2007).
Kebutuhan zat gizi
tubuh hanya akan terpenuhi dengan pola makan yang bervariasi dan beragam, sebab
tidak ada satupun asupan makanan yang mengandung makro dan mikronutrien secara
lengkap. Oleh karena itu maka semakin beragam, semakin bervariasi dan semakin
lengkap jenis makan yang kita peroleh maka semakin lengkapalah perolehan zat
gizi untuk mewujudkan keshatan yang optimal, (Muliarini, 2010).
Untuk mewujudkan pola
makan gizi seimbangdan sehat ada lima karakteristik yang harus diperhatikan
pada saat memilih makanan.
Pertama, adekuat :
makanan trsbut memberi zat gizi, fiber dan energi dalam jumlah yang cukup.
Kedua, seimbang : makan yang harus dipilih
harus tidak berlebihan dalam zat gizi yang kurang dalam zat gizi yang lainnya.
Ketiga, kontrol kalori
: makan tersebut tidak memberikan kalori yang berlebihan atau kurang, untuk
mempertahankan berat badan ideal. Keempat, moderat (tidak berlebihan) : makan
tidak berlebihan dalam hal lemak, garam, gula dan lainnya. Kelima, bervariasi :
makanan yang dipilih berbeda dari hari ke hari, (Hadju, 2001, dalam Hariani,
2004).
C.
Tinjauan
Umum Tentang Pola Pengasuhan Anak
Secara harfiah, Bahasa
Indonesia, pola adalah motif, penggambaran, model, cara.Sementara pengasuhan
berasal dari kata asuh berarti menjaga, memelihara dan mindidik.Jadi dari
harfiah Bahasa Indonesia, praktek pengasuhan anak adalah cara yang diterapkan
oleh ibu untuk mendidik anak - anak agar tidak mudah mengalami sakit dengan
kondisi badan yang sehat, (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997).
Pengasuhan anak adalah
aktivitas yang berhubungan dengan pemenuhan pangan, pemeliharan fisik dan
perhatian terhadap anak.
Pengasuh anak meliputi
aktivitas peraatan terkait gizu / persiapan makanan dan menyusui, pencegahan
dan pengobatan penyakit, memandikan anak, membersihkan rumah.
Berdasarkan pengertian
tersebut “Pengasuhan’’ pada dasarnya adalah suatu praktek yang dijalankan oleh
orang yang lebih dewasa terhadap anak yang dihubungkan dengan pemenuhan
kebutuhan pangan atau tempat tinggal yang layak, higiene perorangan, sanitasi
lingkungan, sandang, kesegaran jasmani, (Soetjiningsih, 1995).
Pola pengasuhan
merupakan salah satu kejadian pendukung untuk mencapai status yang baik bagi
anak. Pola pengasuhan merupakan kejadian pendukung anmun secara tidak langsung.
Dengan pola pengasuhan yang baik, maka perkembangan anak juga akan baik. Ahli
psikologi perkembangan, dewasa ini menilai secara kritis pentingnya pengasuhan
anak oleh orang tuanya. Proses pengasuhan ini erat hubungannya dengan kelekata
antara anak dan orang tua dimana proses tersebut melahirkan ikatan emosional
secara timbal balik antara bayi atau anak dengan pengasuh (orang tua), (Milis.
I, 2004 di dalam Silfiya dkk, 2005).
Menurut Eagle 1995 pola
pengasuhan adalah aktivitas terhadap anak terkait makanan, aktivitas mandi
mereka menderita infeksi Eagle, (1995).
Pola pengasuhan menurut
Zeitlin (2000) adalah praktek dirumah tangga yang diwujudkan dengan tersedianya
pangan dan perawatan kesehatan serta sumber lainnya untuk kelangsungan hidup,
pertumbuhan dan perkembangan anak.
Aspek kunci dalam pola asuhan adalah :
1. Perawatan
dan perlindungan bagi bayi
2. Praktek menyusui dan pemberian MP – ASI
3. Pengasuhan
psiki-sosial
4. Kebersihan diri dan sanitasi lingkungan
5. Praktek
kesehatan dirumah dan pola pencarian pelayanan kesehatan.
D. Tinjauan Umum Tentang Pendapatan
Keluarga
a. Pendapatan
keluarga merupakan faktor yang paling menentukan kuantitas dan kulitas makanan.
Di negara – negara berkembang, masyarakat yang miskin membelanjakan
kependapatannya khususnya untuk makanan sekitar 80 %, (Berg. Alan dkk, 1986).
b. Tingkat
pengeluaran untuk makanan merupakan kejadian yang dapat menggambarkan keadaan
ekonomi suatu keluarga. Semakin besar presentase pengeluaran untuk makanan
terhadap total pengeluaran (mendekati 100%). Maka keluarga tersebut dapat dikategorikan
miskin. Keluarga dikategorikan miskin apabila propersi makanan terhadap total
pengeluaran adalah 80% keatas, (Thamrin, 2002).
c. Besarnya
dampak krisis mengakibatkan suatu penurunan yang drastis pada pendapatan dan
daya beli dari mayoritas penduduk. Memahami dampak krisis ini, memburuknya
angka kemiskinan dimana melibatkan mereka yang belum krisis mempunyai tingkat
kesejahteraan sangat rawan terhadap gejolak harga kebutuhan pokok. Kondisi ini
menyebabkan sebagian masyarakat tidak mampu mengakses pangan dan pada akhirnya
berpengaruh terhadap keadaan gizi masyarakat yang dapat digambarkan secara
nyata pada kelompok rawan gizi terutama anak balita termasuk bayi, (Irawan dan
Romdiati, 2002 dalam Tuti Aditama, 2004).
Lebih lanjut Irawan
dkk, (2002) dalam mengemukakan bahwa krisis ekonomi yang dilihat dari
menurunnya laju pertumbuhan ekonomi di indonesia telah menyebabkan bertambahnya
jumlah penduduk miskin, melalui beberapa mekanisme yang kesemuanya menyebabkan
penurunan drastis pada pendapatan dan daya beli dari mayoritas penduduk,
khususnya golongan bawah. Menurunnya pendapatan secara negatif berdampak pada
kualitas dan pola konsumsi rumah tangga. Dengan tingkat pendapatan yang sangat
terbatas, banyak rumah tangga miskin terpaksa merubah polah makanan pokoknya
Menurut Martorell (1998) terjadinya perbaikan
ekonomi maka akan mengurangi kemiskinan dan selanjutnya akan meningkatkan
status gizi serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
2.
Tinjauan
UmumTentang Anak Balita
Balita adalah anak yang berusia di bawah lima
tahun termasuk bayi 1- 12 bulan dan anak umur 1 - 4 tahun yang belum merayakan
ulang tahun ke -5, (J. A. Kusin, 1985, dalam Kardjati, dkk, 1985, Tuti Aditama
2004)
Menurut Depkes (1992)
anak balita adalah semua anak laki - laki dan perempuan yang berumur 12 - 59
bulan. Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan badan dan
pesat, sehingga memerlukan zat - zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat
badannya. Anak balita ini justru merupakan kelompok umur yang paling sering
menderita akibat kekurangan gizi, (Sediaoetama, 2000).
Bila ditinjau dari segi umur, maka anak balita
yang sedang tumbuh kembang adalah golongan yang awan terhadap kekurangan energi
dan protein, kerawanan pada anak - anak disebabkan oleh hal - hal di sebagai
berikut, (Kardjati, dkk, 1985):
a. Kemampuan
saluran pencernaan anak yang tidak sesuai dengan jumlah volume makanan yang mempunyai
kandungan gizi yang dibutuhkan anak.
b. Kebutuhan gizi anak per satuan berat badan
lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa, karena disamping untuk
pemeliharaan juga diperlukan untuk pertumbuhan.
c. Segera
anak dapat bergerak sendiri, tanpa bantuan orang lain, dia akan mengikuti
pergerakan disekitarnya sehingga memperbesar kemungkinan terjadinya penularan
penyakit. d. Meskipun mempunyai nilai tertentu dalam keluarga, akan tetapi dalam
hal penyajian makanan, anggota keluarga yang mempunyai nilai produktif akan
mendapatkan pilihan yang terbaik, baru selebihnya yang diberikan pada anggota
keluarga yang lain.
Masa
akan dibawah lima tahun (anak balita, umur 12 - 59 bulan).
Pada masa ini,
kecepatan pertumbuhan mulai menurun dan terdapat kemajuan dalam perkembangan
motorik (gerak kasar dan gerak halus) serta fungsi ekskresi.
Setelah lahir terutama
pada 3 tahun pertama kehidupan, pertumbuhan dan perkembangan sel - sel otak
masih berlangsung dan terjadi pertumbuhan serabut - serabut syaraf dan cabang -
cabangnya, sehingga terbentuk jaringan syaraf dan otak yang kompleks. Jumlah
dan pengaturan hubungan - hubungan antar sel syaraf ini sangat mempengaruhi
segala kinerja otak, mulai dari kemampuan belajar berjalan, mengenal huruf,
sehingga bersosialisasi.
Pada masa balita,
perkembangan kemampuan bicara dan bahasa, kreatifitas, kesadaran sosial,
emosional dan intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan landasan
perkembangan berikutnya. Perkembangan moral serta dasar - dasar kepribadian
anak juga dibentuk pada masa ini, sehingga setiap kelainan / penyimpangan
sekecil apapun apabila tidak dideteksi apalagi tidak ditangani dengan baik,
akan mengurangi kualitas sumber daya manusia dikemudian hari, (Depkes RI,
2006).
Anak kelompok balita di
Indonesia menunjukkan prevalensi paling tinggi untuk penyakit kurang kalori
protein dan defesiensi vitamin A serta anemia defesiensin Fe. Kelompok umur
sulit dijangkau oleh berbagai upaya kegiatan pebaikan gizi dan kesehatan
lainnya, karena tidak dapat datang sendiri ke tempat berkumpul yang telah
ditentukan tanpa diantar, padahal yang mengantar sedang semua, (Seadiaoetama,
2000).
Pada anak balita
kekurangan energi dan protein dapat menyebabkan hambatan perkembangan fisik dan
kecerdasan, disamping penurunan daya tahan terhadap penyakit yang akhirnya
menimbulkan kematian.
Anak - anak merupakan
calon pewaris dan penerus pembangunan. Pertumbuhan balita dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu Faktor dalam dipengaruhi oleh jumlah dan mutu makanan,
kesehatan balita (ada / tidaknya penyakit). Sedangkan faktor luar yaitu tingkat
ekonomi, pendidikan, perilaku (orang tua / pengasuh), sosial budaya /
kebiasaan, kesedian bahan makanan di rumah tangga, (Depkes dan Depsos, 2000).
KERANGKA KONSEP
A.
Dasar
Pemikiran Varibel yang Diteliti
Status gizi seseorang
merupakan gambaran apa yang dikonsumsi dalam jangka waktu yang cukup lama.
Keadaan gizi dapat berupa gizi baik (seimbang), gizi kurang, gizi buruk dan
gizi lebih, (Supariasa, 2002).
Keadaan gizi merupakan
akibat dari keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan zat gizi dan penggunaan
zat gizi tersebut, atau keadaan fosiologik akibat dari tersedianya zat gizi
dalam seluler tubuh, (Supriasa, 2002).
Penentuan gizi seseorang ditentukan oleh
beberapa kejadian antara lain pola makan, pola pengasuhan anak, pendapatan
keluarga, pendidikan orang tua dan pekerjaan.
Dari keenam variabel
tersebut akan diteliti dengan dasar pemikiran sebagai berikut :
1. Pola
Makan Keadaan gizi seseorang dapat dipengaruhi oleh konsumsi makanan dengan
berbagai jenis makanan yang biasa dikonsumsi setiap hari. Untuk mengetahui
frekuensi konsumsi menurut jenis bahan makanan dan menggali informasi tentang
kebiasaan makan menggunakan metode food frekuensy. Secara umum survai konsumsi
makanan dimaksudkan untuk mengetahui kebiasaan makan dan gambaran tingkat
kecukupan bahan makanan dan zat gizi pada tingkat kelompok rumah tangga
terhadap konsumsi makanan tersebut. (Supariasa dkk, 2001).
2. Pola
Pengasuhan Anak Salah satu kejadian yang menentukan status gizi anak balita
adalah besarnya asupan anak makanan. Pola pengasuhan anak berpengaruh terhadap
pemberian makanan dari orang tua kepada anaknya. Pengasuhan anak dapat berupa
sikap dan perilaku ibu atau pengaruh lain dalam hal kedekatan dengan anak,
memberikan makanan, merawat kebersihan, memberikan kasih sayang dan sebagainya
yang kesemua berhubungan dengan keadan ibu dalam hal kesehatan (fisik dan
mental), pendidikan / pengetahuan dan keterampilan tentang pengasuhan anak yang
baik, peranan dalam keluarga atau masyarakat, sikap, pekerjaan, dan adat
kebiasan keluarga dan masyarakat, (Depkes RI, 2001).
3. Pendapatan
Keluarga Pendapatan mempengaruhi penyediaan makanan dalam keluarga. Rendahnya
pendapatan keluarga utamanya di pemukiman kumuh menyebabkan mengakibatkan
keluarga lebih mendahulukan pemenuhan kebutuhan dasar, terutama makanan. Pada
tingkat pendaptan yang rendah, makanan sumber karbohidrat sebagai sumber energi
utama. Dengan meningkatnya pendapatan, makanan karbohidrat yang tadi menurun
dan masukan lemak, daging, susu, karbohidrat meningkat.
B.
Pola
Pikir Variabel Penelitian
Berdasarkan dasar
pemikiran variabel penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya diatas maka
dapat disusun skema pola pikir variabel sebagai berikut : Keterangan : :
Variabel Independen : Variablel Dependen
Kerangka
fikira
Pola makan
|
Pola asuh
|
Tingkat
pendapatan
|
statusgizi
|
C.
Definisi
Operasional dan Kriteria Objektif
1. .Pola
makan Pola makan adalah berbagi informasi yang memberikan gambaran mengenai
macam dan jumlah bahan makanan yang dimakan oleh anak balita.
Kriteria Objektif :
Cukup : Apabila nilai skoring responden ≥ 75 % Kurang : Apabila nilai skoring
responden < 75 %
2. .Pola
pengasuhan anak Pola pengasuhan anak yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
pola asuh dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makanan, merawat dan
memberikan kasih sayang.
Kriteria Objektif :
Cukup : Apabila nilai
skoring responden ≥ 66,67 %
Kurang : Apabila nilai
skoring responden < 66,67 %.
3. Pendapatan
Keluarga Pendapatan keluarga adalah kemampuan ekonomi keluarga yang
diukur dengan
presentase total pengeluaran untuk makan perhari (Depkes dan Depsos RI 2000).
Kriteria Objektif : Cukup : Apabila presentase pengeluaran untik makanan
terhadap total pendapatan perhari dibawah 80 % kurang : Apabila presentase
pengeluaran untik makanan terhadap total pendapatan perhari diatas atau sama
dengan 80 %
4. Status
Gizi Status gizi anak balita adalah keadaan gizi yang dapat dinilai dengan
tabel baku rujukan WHO-NCHS. Status anak perempuan dan laki – laki usia 1 - 48
bulan menurut berat badan umur (BB/U). Kriteria Objektif: a. Baik : ≥ -2 SD
sampai + 2 SD b. Kurang : < - 2 SD sampai ≥ -3 SD
D.
Hipotesis
Penelitian
Ho:
1. tidak
ada hubungan pola makan dengan kejadian status gizi
2. tidak
ada hubungan pola asuh anak terhadap kejadian status gizi
3. tidak
ada hubungan tingkat pendapatan keluarga dengan kejadian status gizi ?
Ha:
1. Ada
hubungan pola makan dengan kejadian status gizi
2. Ada
hubungan pola asuh anak terhadap kejadian status gizi
3. Ada
hubungan tingkat pendapatan keluarga dengan kejadian status gizi
0 komentar:
Posting Komentar