skip to main |
skip to sidebar
BAB
I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG.
A.
kontrol
intrpersonal dalam organisasi
konflik
interpersonal di gambarkan secara luas dengan melibatkan baik(1) ketidak
–setujuan substansive seperti perbedaan
pandangan terhadap tujuan ,setruktur , kebijakan dan peraktik ,dan (2)perbedaan
emosi dan personal yang muncul di antara diri manusia, konflik dapat
berkelanjutan sehingga menggangu individu dan performa bersama . hubungan
interpersonal dalam organisasi di ciptakan oleh rasa ketergantungan yang
melibatkan aliran-aliran pekerjaan fisik , pelayanan teknis,informasi atau
nasihat .
B.
Hubungan
dialog pada pendekatan-pendekatan lainya untuk mengatasi konflik
Tiga
peroses perbedaan yang paliang Mendasar di libatkan dalam interaksi di antara
pihak-pihak berkonflik .peroses pertama adalah tawar menawar pada
permasalahan yang tetap ,di mana salah satu pihak harus menerima
kekalahan.peroses ke dua adalah memecahkan
masalah untuk memecahkan permasalah yang mengandung variabel tambahan di
mana karena rasa ketertarikan para pemimpin tidak sepenuhnya esklusif, sangat
memungkinkan bagi mereka untuk megidentifikasi kembali atau memaksakan
persepsi-persepsi dan perilaku-perilaku mereka , arti peranan dan hubungan
mereka ,serta norma-norma yang mengatur
interaksi mereka dalam peroses-peroses lainya.
Organisasi
sebagai suatu sistem terdiri dari komponen-komponen (subsistem) yang saling
berkaitan atau saling tergantung (interdependence) satu sama lain dan
dalam proses kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu (Kast dan Rosenzweigh,
1974). Sub-subsistem yang saling tergantung itu adalah tujuan dan nilai-nilai (goals
and values subsystem), teknikal (technical subsystem), manajerial (managerial
subsystem), psikososial (psychosocial subsystem), dan subsistem
struktur (structural subsystem).
Dalam proses interaksi antara suatu subsistem dengan
subsistem lainnya tidak ada jaminan akan selalu terjadi kesesuaian atau
kecocokan antara individu pelaksananya. Setiap saat ketegangan dapat saja
muncul, baik antar individu maupun antar kelompok dalam organisasi. Banyak
faktor yang melatar - belakangi munculnya ketidakcocokan atau ketegangan,
antara lain: sifat-sifat pribadi yang berbeda, perbedaan kepentingan,
komunikasi yang “buruk”, perbedaan nilai, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan
inilah yang akhirnya membawa organisasi ke dalam suasana konflik. Agar organisasi dapat tampil efektif, maka individu dan
kelompok yang saling tergantung itu harus menciptakan hubungan kerja yang
saling mendukung satu sama lain, menuju pencapaian tujuan organisasi.
Namun, sabagaimana dikatakan oleh Gibson, et al.
(1997:437), selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung
dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing-masing komponen
organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak saling
bekerjasama satu sama lain. Konflik dapat menjadi masalah yang serius dalam
setiap organisasi, tanpa peduli apapun bentuk dan tingkat kompleksitas
organisasi tersebut. Konflik tersebut
mungkin tidak membawa “kamatian” bagi organisasi, tetapi pasti dapat menurunkan
kinerja organisasi yang bersangkutan, jika konflik tersebut dibiarkan
berlarut-larut tanpa penyelesaian. Karena
itu keahlian untuk mengelola konflik sangat diperlukan bagi setiap pimpinan
atau manajer organisasi.
BAB 11
PEMBAHASAN
a)
Definisi
Konflik
Banyak definisi tentang konflik yang diberikan oleh ahli
manajemen. Hal ini tergantung pada sudut tinjauan yang digunakan dan persepsi
para ahli tersebut tentang konflik dalam organisasi. Namun, di antara makna-makna
yang berbeda itu nampak ada suatu kesepakatan, bahwa konflik dilatarbelakangi
oleh adanya ketidakcocokan atau perbedaan dalam hal nilai, tujuan, status, dan
budaya. Definisi di bawah ini menunjukkan perbedaan-perbedaan dimaksud.
Terlepas dari faktor-faktor yang melatarbelakanginya,
konflik merupakan suatu gejala dimana individu atau kelompok menunjukkan sikap
atau perilaku “bermusuhan” terhadap individu atau kelompok lain, sehingga
mempengaruhi kinerja dari salah satu atau semua pihak yang terlibat.
Keberadaan konflik dalam organisasi, menurut Robbin
(1996), ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak
menyadari bahwa telah terjadi konflik di dalam organisasi, maka secara umum
konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan
bahwa di dalam organisasi telah terjadi konflik, maka konflik tersebut menjadi
suatu kenyataan.
b)
Pandangan
Terhadap Konflik
Terdapat perbedaan pandangan terhadap peran konflik dalam
kelompok atau organisasi. Ada yang berpendapat bahwa konflik harus dihindari
atau dihilangkan, karena jika dibiarkan maka akan merugikan organisasi.
Berlawanan dengan ini, pendapat lain menyatakan bahwa jika konflik dikelola
sedemikian rupa maka konflik tersebut akan membawa keuntungan bagi kelompok dan
organisasi. Stoner dan Freeman menyebut konflik tersebut sebagai konflik
organisasional (organizational
conflict).
Pertentangan pendapat ini oleh Robbins (1996:431) disebut
sebagai the Conflict Paradox, yaitu pandangan bahwa di satu sisi
konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja kelompok, namun di sisi lain kebanyakan
kelompok dan o rganisasi
berusaha untuk meminimalisir konflik.Dalam uraian di bawah ini disajikan
beberapa pandangan tentang konflik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Robbins
(1996:429).
·
Pandangan Tradisional (The
Traditional View).
Pandangan ini menyatakan bahwa semua konflik itu buruk.
Konflik dilihat sebagai sesuatu yang negatif, merugikan dan harus dihindari.
Untuk memperkuat konotasi negatif ini, konflik disinonimkan dengan istilah violence,
destruction, dan irrationality. Pandangan ini konsisten dengan
sikap-sikap yang dominan mengenai perilaku kelompok dalam dasawarsa 1930-an dan
1940-an. Konflik dilihat sebagai suatu hasil disfungsional akibat komunikasi
yang buruk, kurangnya kepercayaan dan keterbukaan di antara orang-orang, dan
kegagalan manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan.
·
Pandangan Hubungan Manusia (The
Human Relations View).
Pandangan ini berargumen bahwa konflik merupakan
peristiwa yang wajar terjadi dalam semua kelompok dan organisasi. Konflik merupakan
sesuatu yang tidak dapat dihindari, karena itu keberadaan konflik harus
diterima dan dirasionalisasikan
sedemikian rupa sehingga bermanfaat bagi peningkatan kinerja organisasi.
Pandangan ini mendominasi teori konflik dari akhir dasawarsa 1940-an sampai
pertengahan 1970-an.
·
Pandangan Interaksionis (The
Interactionist View).
Pandangan
ini cenderung mendorong terjadinya konflik, atas dasar suatu asumsi bahwa
kelompok yang koperatif, tenang, damai, dan serasi, cenderung menjadi statis,
apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut aliran
pemikiran ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimun secara berkelanjutan, sehingga
kelompok tetap bersemangat (viable), kritis-diri (self-critical),
dan kreatif. Stoner dan Freeman (1989:392) membagi pandangan tentang konflik
menjadi dua bagian, yaitu pandangan tradisional (old view) dan pandangan
modern (current view).
c)
Jenis-jenis
Konflik
Terdapat berbagai macam jenis konflik, tergantung pada
dasar yang digunakan untuk membuat klasifikasi. Ada yang membagi konflik atas
dasar fungsinya, ada pembagian atas dasar pihak-pihak yang terlibat dalam
konflik, dan sebagainya.
a. Konflik
Dilihat dari Fungsi
Berdasarkan fungsinya, Robbins (1996:430) membagi konflik
menjadi dua macam, yaitu: konflik fungsional (Functional Conflict) dan
konflik disfungsional (Dysfunctional Conflict). Konflik fungsional
adalah konflik yang mendukung pencapaian tujuan kelompok, dan memperbaiki
kinerja kelompok. Sedangkan konflik disfungsional adalah konflik yang merintangi
pencapaian tujuan kelompok.
Menurut Robbins, batas yang menentukan apakah suatu
konflik fungsional atau disfungsional sering tidak tegas (kabur). Suatu konflik
mungkin fungsional bagi suatu kelompok, tetapi tidak fungsional bagi kelompok
yang lain. Begitu pula, konflik dapat fungsional pada waktu tertentu, tetapi
tidak fungsional di waktu yang lain. Kriteria yang membedakan apakah suatu
konflik fungsional atau disfungsional adalah dampak konflik tersebut terhadap
kinerja kelompok, bukan pada kinerja individu. Jika konflik tersebut dapat
meningkatkan kinerja kelompok, walaupun kurang memuaskan bagi individu, maka
konflik tersebutdikatakan fungsional. Demikian sebaliknya, jika konflik
tersebut hanya memuaskan individu saja, tetapi menurunkan kinerja kelompok maka
konflik tersebut disfungsional.
b. Konflik Dilihat dari Pihak yang Terlibat di Dalamnya
Berdasarkan pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik,
Stoner dan Freeman (1989:393) membagi konflik menjadi enam macam, yaitu:
1)
Konflik dalam diri individu (conflict within the individual). Konflik ini terjadi jika seseorang harus memilih tujuan
yang saling bertentangan, atau karena tuntutan tugas yang melebihi batas
kemampuannya.
2) Konflik antar-individu (conflict among individuals).
Terjadi karena perbedaan kepribadian (personality differences) antara
individu yang satu dengan individu yang lain.
3)
Konflik antara individu dan kelompok (conflict among individuals and groups).
Terjadi jika individu gagal menyesuaikan diri dengan
norma - norma kelompok tempat ia bekerja.
4)
Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama (conflict among groups in
the same organization). Konflik ini terjadi karena masing - masing kelompok
memiliki tujuan yang berbeda dan masing-masing berupaya untuk mencapainya.
5) Konflik antar organisasi (conflict among
organizations). Konflik ini terjadi jika tindakan yang dilakukan oleh
organisasi menimbulkan dampak negatif bagi organisasi lainnya. Misalnya, dalam
perebutan sumberdaya yang sama.
6) Konflik antar individu dalam organisasi yang berbeda (conflict
among individuals in different organizations). Konflik ini terjadi sebagai
akibat sikap atau perilaku dari anggota suatu organisasi yang berdampak negatif
bagi anggota organisasi yang lain. Misalnya, seorang manajer public
relations yang menyatakan keberatan atas pemberitaan yang dilansir seorang
jurnalis.
c. Konflik Dilihat dari Posisi Seseorang dalam Struktur
Organisasi
Winardi (1992:174) membagi konflik menjadi empat macam,
dilihat dari posisi seseorang dalam struktur organisasi. Keempat jenis konflik
tersebut adalah sebagai berikut:
1) Konflik vertikal, yaitu konflik yang terjadi antara
karyawan yang memiliki kedudukan yang tidak sama dalam organisasi. Misalnya,
antara atasan dan bawahan.
2) Konflik horizontal, yaitu konflik yang terjandi antara
mereka yang memiliki kedudukan yang sama atau setingkat dalam organisasi.
Misalnya, konflik antar karyawan, atau antar departemen yang setingkat.
3) Konflik garis-staf, yaitu konflik yang terjadi antara
karyawan lini yang biasanya memegang posisi komando, dengan pejabat staf yang
biasanya berfungsi sebagai penasehat dalam organisasi.
4) Konflik peran, yaitu konflik yang terjadi karena
seseorang mengemban lebih dari satu peran yang saling bertentangan. Di samping
klasifikasi tersebut di atas, ada juga klasifikasi lain, misalnya yang
dikemukakan oleh Schermerhorn, et al. (1982), yang membagi
konflik atas: substantive conflict, emotional conflict, constructive
conflict, dan destructive conflict.
Faktor-faktor penyebab konflik
Menurut Robbins (1996), konflik muncul karena ada kondisi
yang melatar - belakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut,
yang disebut juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga
ketegori, yaitu: komunikasi, struktur, dan variabel pribadi.
Komunikasi.
Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan kesalah - pahaman
antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi sumber konflik. Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa kesulitan
semantik, pertukaran informasi yang tidak cukup, dan gangguan dalam saluran
komunikasi merupakan penghalang terhadap komunikasi dan menjadi kondisi
anteseden untuk terciptanya konflik.
Struktur.
Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian yang mencakup: ukuran
(kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota kelompok,
kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan
tujuan kelompok, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat ketergantungan
antara kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa ukuran kelompok dan derajat
spesialisasi merupakan variabel yang mendorong terjadinya konflik. Makin besar
kelompok, dan makin terspesialisasi kegiatannya, maka semakin besar pula
kemungkinan terjadinya konflik.
Variabel Pribadi. Sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor
pribadi, yang meliputi: sistem nilai yang dimiliki tiap-tiap individu,
karakteristik kepribadian yang menyebabkan individu memiliki keunikan (idiosyncrasies)
dan berbeda dengan individu yang lain. Kenyataan menunjukkan bahwa tipe
kepribadian tertentu, misalnya, individu yang sangat otoriter, dogmatik, dan
menghargai rendah orang lain, merupakan sumber konflik yang potensial. Jika salah
satu dari kondisi tersebut terjadi dalam kelompok, dan para karyawan menyadari
akan hal tersebut, maka muncullah persepsi bahwa di dalam kelompok terjadi
konflik. Keadaan ini disebut dengan konflik yang dipersepsikan (perceived
conflict). Kemudian jika individu terlibat secara emosional, dan mereka
merasa cemas, tegang, frustrasi, atau muncul sikap bermusuhan, maka konflik
berubah menjadi konflik yang dirasakan (felt conflict). Selanjutnya,
konflik yang telah disadari dan dirasakan keberadaannya itu akan berubah
menjadi konflik yang nyata, jika pihak-pihak yang terlibat mewujudkannya dalam
bentuk perilaku. Misalnya, serangan secara verbal, ancaman terhadap pihak lain,
serangan fisik, huru-hara, pemogokan, dan sebagainya.
d)
Penyebab
Konflik
Konflik di dalam organisasi dapat disebabkan oleh faktor-faktor sebagai
berikut:
A. Faktor Manusia
1.Ditimbulkan oleh atasan, terutama karena gaya kepemimpinannya.
2.Personil yang mempertahankan peraturan-peraturan secara kaku.
3.Timbul karena ciri-ciri kepriba-dian individual, antara lain sikap egoistis,
temperamental, sikap fanatik, dan sikap otoriter.
B. Faktor Organisasi
1. Persaingan dalam menggunakan sumberdaya.
Apabila sumberdaya baik berupa uang,
material, atau sarana lainnya terbatas atau dibatasi, maka dapat timbul
persaingan dalam penggunaannya. Ini merupakan potensi terjadinya konflik antar
unit/departemen dalam suatu organisasi.
2. Perbedaan tujuan antar unit-unit organisasi.
Tiap-tiap unit dalam organisasi
mempunyai spesialisasi dalam fungsi, tugas, dan bidangnya. Perbedaan ini sering
mengarah pada konflik minat antar unit tersebut. Misalnya, unit penjualan
menginginkan harga yang relatif rendah dengan tujuan untuk lebih menarik
konsumen, sementara unit produksi menginginkan harga yang tinggi dengan tujuan
untuk memajukan perusahaan.
3. Interdependensi tugas.
Konflik terjadi karena adanya saling
ketergantungan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Kelompok yang satu
tidak dapat bekerja karena menunggu hasil kerja dari kelompok lainnya.
4. Perbedaan nilai dan persepsi.
Suatu kelompok tertentu mempunyai
persepsi yang negatif, karena merasa mendapat perlakuan yang tidak “adil”. Para
manajer yang relatif muda memiliki presepsi bahwa mereka mendapat tugas-tugas
yang cukup berat, rutin dan rumit, sedangkan para manajer senior men¬dapat
tugas yang ringan dan sederhana.
5. Kekaburan yurisdiksional. Konflik terjadi karena batas-batas aturan tidak
jelas, yaitu adanya tanggung jawab yang tumpang tindih.
6. Masalah “status”. Konflik dapat terjadi karena suatu unit/departemen mencoba
memperbaiki dan meningkatkan status, sedangkan unit/departemen yang lain
menganggap sebagai sesuatu yang mengancam posisinya dalam status hirarki
organisasi.
7. Hambatan komunikasi. Hambatan komunikasi, baik dalam perencanaan,
pengawasan, koordinasi bahkan kepemimpinan dapat menimbulkan konflik antar
unit/ departemen. (Jika Anda ingin mendapatkan slide presentasi yang bagus
tentang management skills dan personal development, silakan KLIK DISINI ).
e) Akibat-akibat Konflik
Konflik dapat berakibat negatif maupun positif tergantung pada cara mengelola
konflik tersebut
Akibat
negatif
• Menghambat komunikasi.
• Mengganggu kohesi (keeratan hubungan).
• Mengganggu kerjasama atau “team work”.
• Mengganggu proses produksi, bahkan dapat menurunkan produksi.
• Menumbuhkan ketidakpuasan terhadap pekerjaan.
• Individu atau personil menga-lami tekanan (stress), mengganggu konsentrasi,
menimbulkan kecemasan, mangkir, menarik diri, frustrasi, dan apatisme.
Akibat Positif
• Membuat organisasi tetap hidup dan harmonis.
• Berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan.
• Melakukan adaptasi, sehingga dapat terjadi perubahan dan per-baikan dalam
sistem dan prosedur, mekanisme, program, bahkan tujuan organisasi.
• Memunculkan keputusan-keputusan yang bersifat inovatif.
• Memunculkan persepsi yang lebih kritis terhadap perbedaan pendapat.
f) Cara atau Taktik Mengatasi Konflik
Mengatasi dan menyelesaikan suatu konflik bukanlah suatu yang sederhana.
Cepat-tidaknya suatu konflik dapat diatasi tergantung pada kesediaan dan
keterbukaan pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan konflik, berat
ringannya bobot atau tingkat konflik tersebut serta kemampuan campur tangan
(intervensi) pihak ketiga yang turut berusaha mengatasi konflik yang muncul.
Diatasi
oleh pihak-pihak yang bersengketa:
Rujuk: Merupakan suatu usaha
pendekatan dan hasrat untuk kerja-sama dan menjalani hubungan yang lebih baik,
demi kepentingan bersama.
Persuasi: Usaha mengubah po-sisi pihak lain,
dengan menunjukkan kerugian yang mungkin timbul, dengan bukti faktual serta
dengan menunjukkan bahwa usul kita menguntungkan dan konsisten dengan norma dan
standar keadilan yang berlaku.
Tawar-menawar: Suatu penyelesaian
yang dapat diterima kedua pihak, dengan saling mempertukarkan konsesi yang
dapat diterima. Dalam cara ini dapat digunakan komunikasi tidak langsung, tanpa
mengemukakan janji secara eksplisit.
Pemecahan masalah terpadu: Usaha
menyelesaikan masalah dengan memadukan kebutuhan kedua pihak. Proses pertukaran
informasi, fakta, perasaan, dan kebutuhan berlangsung secara terbuka dan jujur.
Menimbulkan rasa saling percaya dengan merumuskan alternatif pemecahan secara
bersama de¬ngan keuntungan yang berimbang bagi kedua pihak.
Penarikan diri: Suatu penyelesaian masalah,
yaitu salah satu atau kedua pihak menarik diri dari hubungan. Cara ini efektif
apabila dalam tugas kedua pihak tidak perlu berinteraksi dan tidak efektif
apabila tugas saling bergantung satu sama lain.
Pemaksaan dan penekanan: Cara ini
memaksa dan menekan pihak lain agar menyerah; akan lebih efektif bila salah
satu pihak mempunyai wewenang formal atas pihak lain. Apabila tidak terdapat
perbedaan wewenang, dapat dipergunakan ancaman atau bentuk-bentuk intimidasi
lainnya. Cara ini sering kurang efektif karena salah satu pihak hams mengalah
dan menyerah secara terpaksa.
Intervensi (campur tangan) pihak ketiga:
Apabila fihak yang bersengketa tidak bersedia berunding atau usaha kedua pihak
menemui jalan buntu, maka pihak ketiga dapat dilibatkan dalam penyelesaian
konflik.
Arbitrase (arbitration): Pihak ketiga mendengarkan keluhan
kedua pihak dan berfungsi sebagai “hakim” yang mencari pemecahan mengikat. Cara
ini mungkin tidak menguntungkan kedua pihak secara sama, tetapi dianggap lebih
baik daripada terjadi muncul perilaku saling agresi atau tindakan destruktif.
Penengahan (mediation): Menggunakan
mediator yang diundang untuk menengahi sengketa. Mediator dapat membantu
mengumpulkan fakta, menjalin komunikasi yang terputus, menjernihkan dan
memperjelas masalah serta mela-pangkan jalan untuk pemecahan masalah secara
terpadu. Efektivitas penengahan tergantung juga pada bakat dan ciri perilaku
mediator.
Konsultasi: Tujuannya untuk memperbaiki hubungan
antar kedua pihak serta mengembangkan kemampuan mereka sendiri untuk
menyelesaikan konflik. Konsultan tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan dan
tidak berusaha untuk menengahi. la menggunakan berbagai teknik untuk
meningkatkan persepsi dan kesadaran bahwa tingkah laku kedua pihak terganggu
dan tidak berfungsi, sehingga menghambat proses penyelesaian masalah yang
menjadi pokok sengketa.
g) Hal-hal yang Perlu Diperhati-kan
Dalam Mengatasi Konflik
:
1. Ciptakan sistem dan pelaksanaan komunikasi yang efektif.
2. Cegahlah konflik yang destruktif
sebelum terjadi.
3. Tetapkan peraturan dan prosedur
yang baku terutama yang menyangkut hak karyawan.
4. Atasan mempunyai peranan penting dalam menyelesaikan konflik yang muncul.
5. Ciptakanlah iklim dan suasana
kerja yang harmonis.
6. Bentuklah team work dan
kerja-sama yang baik antar kelompok/ unit kerja.
7. Semua pihak hendaknya sadar bahwa
semua unit/eselon merupakan mata rantai organisasi yang saling mendukung,
jangan ada yang merasa paling hebat.
8. Bina dan kembangkan rasa
solidaritas, toleransi, dan saling pengertian antar unit/departemen/ eselon.
Bab III
PENUTUP
kesimpulan
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa kualitas
pelayanan publik dipengaruhi oleh tingkat konflik yang ada dalam organisasi.
Faktor - faktor yang menjadi penentu tingginya kualitas pelayanan, misalnya:
sikap responsif dan empatik dari para aparatur pemerintah akan sulit muncul
jika di dalam organisasi terdapat tingkat konflik yang tinggi atau sebaliknya
konflik yang terlalu rendah.
Sering kita temukan dalam setiap organisasi tentang
adanya sikap pro dan kontra dalam memandang konflik. Ada pimpinan yang
memandang konflik secara negatif dan mencoba untuk menghilangkan segala jenis
konflik yang ada. Para pimpinan ini bersikeras bahwa konflik akan memecah-belah
organisasi dan menghambat terciptanya kinerja yang optimal. Konflik memberikan
indikasi tentang adanya suatu ketidakberesan dalam organisasi, dan adanya
prinsip-prinsip atau aturanaturan yang tidak dilaksanakan dengan baik.
Pandangan yang berbeda terhadap konflik beranggapan bahwa
konflik tidak mungkin dihindari. Semua bentuk ketidak - setujuan mengandung
konflik, namun hal itu tidak perlu menimbulkan pertengkaran yang hebat. Para
pimpinan yang setuju dengan pandangan ini berpendapat bahwa jika pihak-pihak
yang berkonflik bersikap dewasa dan percaya diri, maka apapun masalah yang
menjadi sumber konflik akan dapat diselesaikan dengan baik. Mereka ini percaya
bahwa kinerja organisasi yang optimal memerlukan tingkat konflik yang optimal
atau moderat. Tanpa konflik, akan ada rasa tidak memerlukan perubahan, dan
perhatian tidak terfokus pada masalah. Karena itu yang dibutuhkan adalah bagaimana mengelola konflik sehingga
konflik tersebut dapat dipertahankan pada tingkatan tertentu (optimal atau
moderat) sehingga menimbulkan situasi kondusif dalam organisasi. Dengan demikian kualitas pelayanan yang
diinginkan dapat tercapai.
Saran
:
bahwa di setiap perkumpulan kadang terjadi konflik penyebab dari konflik
kebanyakan di akibat kan oleh kepentingan-kepentingan peribadi, jadi dlm
berorganisasi harus kompak dan bekerja sama
untuk mencapai tujuan bersama.
Daftar
pustaka
http//rajapresentasi.com/2009/05/manajemen-konflik-cara-mengelola-konflik-secara-efektif/
Buku ajar leadership.
De Cenzo, David
A., dan Stephen P. Robbins, 1996. Human Resource
Management. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Gibson, James
L., et al., 1977. Organisasi: Perilaku, Struktur, Proses.
Alih bahasa oleh Adriani. Jakarta:
Binarupa Aksara.
Greenhalgh, Leonard,
1999. “Menangani Konflik”. Dalam A.Dale Timpe, (Ed.), Memimpin
Manusia. Alih bahasa oleh Sofyan Cikmat. Jakarta: PT.Gramedia.
1 komentar:
ow trenyata di dalam pandangan norganisasi ada juga ,dampak positifnya yah baru tau dari artikel ini. makasi atas infonya.herman. puncak rante mario 3478 mdpl latimojong yg latarnya yah................?
Posting Komentar