RSS


PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tujuan pembangunan kesehatan yang telah tercantum pada Sistem Kesehatan Nasional adalah suatu upaya penyelenggaraan kesehatan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia guna mendapatkan kemampuan hidup sehat bagi setiap masyarakat agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal yang mana dikatakan bahwa peningkatan derajat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu lingkungan, pelayanan kesehatan, tindakan serta bawaan (congenital). Hidup sehat merupakan hak yang dimilki oleh setiap manusia yang ada didunia ini, akan tetapi diperlukan berbagai cara untuk mendapatkannya (Anonim, 2007).
Untuk dapat mengukur derajat kesehatan masyarakat digunakan beberapa indikator, salah satunya adalah angka kesakitan dan kematian balita. Angka kematian balita yang telah berhasil diturunkan dari 45 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2003 menjadi 44 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2007     (Anonim, 2008).
World Health Organization (WHO) memperkirakan insidens Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di negara berkembang dengan angka kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20% pertahun pada golongan usia balita. Menurut WHO ± 13 juta anak balita di dunia meninggal setiap tahun dan sebagian besar kematian tersebut terdapat di Negara berkembang, dimana pneumonia merupakan salah satu penyebab utama kematian dengan membunuh ± 4 juta anak balita setiap tahun (Depkes, 2000 dalam Asrun, 2006).
Di Indonesia, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) selalu menempati urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita. Selain itu ISPA juga sering berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Survei mortalitas yang dilakukan oleh Subdit ISPA tahun 2005 menempatkan ISPA/Pneumonia sebagai penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia dengan persentase 22,30% dari seluruh kematian balita (Anonim, 2008).
Usia Balita adalah kelompok yang paling rentan dengan infeksi saluran pernapasan. Kenyataannya bahwa angka morbiditas dan mortalitas akibat ISPA, masih tinggi pada balita di negara berkembang. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah proses infeksi akut berlangsung selama 14 hari, yang disebabkan oleh mikroorganisme dan menyerang salah satu bagian, dan atau lebih dari saluran napas, mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah), termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Anonim, 2007). Gejala awal yang timbul biasanya berupa batuk pilek, yang kemudian diikuti dengan napas cepat dan napas sesak. Pada tingkat yang lebih berat terjadi kesukaran bernapas, tidak dapat minum, kejang, kesadaran menurun dan meninggal bila tidak segera diobati.
Berdasarkan uraian di atas, penyakit ISPA merupakan salah satu penyakit dengan angka kesakitan dan angka kematian yang cukup tinggi, sehingga dalam penanganannya diperlukan kesadaran yang tinggi baik dari masyarakat maupun petugas, terutama tentang beberapa faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan. Menurut Hendrik Blum dalam Notoatmodjo, 1996, faktor-faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan antara lain faktor lingkungan seperti asap dapur, faktor prilaku seperti kebiasaan merokok keluarga dalam rumah, faktor pelayanan kesehatan seperti status imunisasi, ASI Ekslusif dan BBLR dan faktor keturunan.
Di Sulawesi Selatan berdasarkan data tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 penemuan penderita ISPA mencapai masing-masing 62.126 kasus (31,45%), 72.532 kasus (35,94%) dan 74.278 kasus (36,26 %). Hal ini menunjukkan bahwa angka kejadian ISPA di Daerah ini semakin meningkat (Heryawan, 2011). Kota Parepare sebagai lokasi penelitian berdasarkan data tahun 2008 sampai dengan tahun 2011, kasus penderita ISPA masing-masing adalah 12.341 kasus (10,38%), 7.310 kasus (6,15%), 12.199 kasus (10,04 %), dan 9.942 kasus (8,18 %). Data ini menunjukkan bahwa angka kejadian ISPA di Kota Parepare sangat tinggi.
Selanjutnya Berdasarkan Laporan Penanggulangan Penderita Penyakit ISPA Dinas Kesehatan Kota Parepare Tahun 2008 sampai dengan tahun 2011, menunjukkan bahwa di Puskesmas Cempae setiap tahunnya menempati urutan tertinggi jumlah penemuan penderita ISPA. Hal ini disebabkan karena kepadatan penduduk di wilayah kerja Puskesmas Cempae sangat tinggi yaitu 23.581 jiwa dari total penduduk Parepare sebanyak 121.551 jiwa (BPS Parepare, 2010). Selain itu tingginya jumlah perokok turut menyumbang meningkatnya jumlah penderita ISPA di Kota Parepare khususnya wilayah kerja Puskesmas Cempae setiap tahunnya.
Sehubungan dengan hal tersebut maka penulis mencoba melakukan suatu penelitian untuk menggambarkan prevalensi kejadian penyakit ISPA                    di Kota Parepare.

Identifikasi dan perumusan masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : “Bagaiman Gambaran Penderita Ispa Di Kota Parepare Tahun 2008-2011?”. Secara rinci dapat diuraikan sebagai berikut :
1.        Bagaimana gambaran penderita ISPA berdasarkan umur di Kota Parepare Tahun 2008-2011?
2.        Bagaimana gambaran penderita ISPA berdasarkan musim di Kota Parepare Tahun 2008-2011?
3.        Bagaimana gambaran penderita ISPA berdasarkan kondisi lingkungan          di Kota Parepare Tahun 2008-2011?

Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

1.        Penyakit ISPA adalah Infeksi Saluran pernapasan Akut dengan pengertian sebagai berikut: Infeksi adalah masuknya Mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan penyakit.
2.        Umur adalah usia penderita yang dinyatakan berdasarkan tahun kelahiran sampai pada saat menderita penyakit ISPA yang dinyatakan dalam tahun.
3.        Musim adalah musim yang terjadi di Indonesia yang di bedakan atas musim hujan dan musim kemarau.
4.        Lingkungan adalah tempat tinggal penderita ISPA yang meliputi wilayah administrative Kota Parepare

Tujuan dan kegunaan penelitian

Tujuan penelitian

a.         Untuk mendapatkan gambaran penderita ISPA berdasarkan umur                  di Kota Parepare Tahun 2008-2011.
b.        Untuk mendapatkan gambaran penderita ISPA berdasarkan musim                di Kota Parepare Tahun 2008-2011.
c.         Untuk mendapatkan gambaran penderita ISPA berdasarkan kondisi lingkungan di Kota Parepare Tahun 2008-2011.

Kegunaan penelitian

1.  Sebagai bahan masukan bagi pemerintah khususnya bagi Dinas Kesehatan Kota Parepare dan Puskesmas dalam penentuan arah kebijakan program penanggulangan penyakit menular khususnya ISPA.
2. Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan, disamping itu hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya.
3.  Bagi penulis merupakan suatu pengalaman yang sangat berharga dalam mengaplikasikan ilmu yang telah didapat dan menambah wawasan pengetahuan.




















LANDASAN TEORI

Kajian teori

Deskripsi Tentang Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
Istilah ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran pernapasan Akut dengan pengertian sebagai berikut: Infeksi adalah masuknya Mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan penyakit. Saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung hingga Alveoli beserta organ Adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA, proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari. Sedangkan Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan       paru-paru (Alveoli). Terjadi pneumonia pada anak seringkali bersamaan dengan proses infeksi akut pada Bronkus disebut Broncho pneumonia (Justin, 2007).
Berdasarkan pengertian di atas, maka ISPA adalah proses infeksi akut berlangsung selama 14 hari, yang disebabkan oleh mikroorganisme dan menyerang salah satu bagian, dan atau lebih dari saluran napas, mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah), termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Karna, 2006).
Untuk kepentingan pencegahan dan pemberantasan, maka penyakit ISPA dapat diketahui menurut :
a.         Lokasi Anatomik
Penyakit ISPA dapat dibagi dua berdasarkan lokasi anatominya, yaitu : ISPA atas dan ISPA bawah. Contoh ISPA atas adalah batuk pilek (common cold), Pharingitis, Tonsilitis, Otitis, Ffluselesmas, radang tenggorok, Sinusitis dan lain-lain yang relatif tidak berbahaya. ISPA bawah diantaranya Bronchiolitis dan pneumonia yang sangat berbahaya karena dapat menyebabkan kematian (Anonim, 2000).
b.        Klasifikasi penyakit
Penyakit ISPA juga dibedakan berdasarkan golongan umur, yaitu :
1) Kelompok umur kurang dari 2 bulan, dibagi atas : pneumonia berat dan bukan pneumonia. Pneumonia berat ditandai dengan adanya napas cepat (Fast breathing), yaitu frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali permenit atau lebih, atau adanya tarikan kuat pada dinding dada bagian bawah ke dalam (Severe chest indrawing), sedangkan bukan pneumonia bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada nafas cepat (Anonim, 2002).
2) Kelompok umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun dibagi atas : pnemonia berat, pnemonia dan bukan pnemonia. Pneumonia berat, bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam pada waktu anak menarik napas. Pneumonia didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernapas disertai adanya napas cepat sesuai umur, yaitu   40 kali permenit atau lebih. Bukan pneumonia, bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada napas cepat (Anonim, 2002).
c.         Tanda dan Gejala
Dalam pelaksanaan program pemberantasan penyakit ISPA (P2 ISPA) kriteria untuk menggunakan pola tatalaksana penderita ISPA adalah balita, ditandai dengan adanya batuk dan atau kesukaran bernapas disertai adanya peningkatan frekwensi napas (napas cepat) sesuai golongan umur. Dalam penentuan klasifikasi penyakit dibedakan atas dua kelompok yaitu umur kurang dari 2 bulan dan umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun.
Klasifikasi pneumonia berat didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran pernapasan disertai napas sesak atau tarikan dinding dada bagian bawah kedalam (chest indrawing) pada anak usia 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun. Untuk kelompok umur kurang dari 2 bulan diagnosis pneumonia berat ditandai dengan adanya napas cepat (fast breathing) dimana frekwensi napas 60 kali permenit atau lebih, dan atau adanya tarikan yang kuat dinding dada bagian bawah ke dalam (severe chest indrawing).
Bukan pneumonia apabila ditandai dengan napas cepat tetapi tidak disertai tarikan dinding dada ke dalam. Bukan pneumonia mencakup kelompok penderita dengan batuk pilek biasa yang tidak ditemukan adanya gejala peningkatan frekuwensi napas dan tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah kedalam (Depkes, 2002)
Ada beberapa tanda klinis yang dapat menyertai anak dengan batuk yang dikelompokkan sebagai tanda bahaya :
1) Tanda dan gejala untuk golongan umur kurang dari 2 bulan yaitu tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor (ngorok), wheezing       (bunyi napas), demam.
2) Tanda dan gejala untuk golongan umur 2 bulan sampai kurang 5 tahun yaitu tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor.
d.        Penyebab Terjadinya ISPA
Penyakit ISPA dapat disebabkan oleh berbagai penyebab seperti bakteri, virus, mycoplasma, jamur dan lain-lain. ISPA bagian atas umumnya disebabkan oleh Virus, sedangkan ISPA bagian bawah dapat disebabkan oleh bakteri. ISPA bagian bawah yang disebabkan oleh bakteri umumnya mempunyai manifestasi klinis yang berat sehingga menimbulkan beberapa masalah dalam penanganannya.
Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus streptcocus, Stapilococcus, Pneumococcus, Hemofillus, Bordetella dan Corinebacterium. Virus penyebab ISPA antara lain adalah golongan Miksovirus, Adenovirus, Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma, Herpesvirus dan lain-lain.
e.         Faktor Risiko ISPA
Berdasarkan hasil penelitian dari berbagai negara termasuk Indonesia dan berbagai publikasi ilmiah, dilaporkan berbagai faktor baik untuk meningkatkan insiden (Morbiditas) maupun kematian (Mortalitas) akibat pneumonia (Anonim, 2003).
Berbagai faktor resiko yang meningkatkan kematian akibat pneumonia adalah umur di bawah 2 bulan, tingkat sosial ekonomi rendah, gizi kurang, berat badan lahir rendah, tingkat pendidikan ibu rendah, tingkat jangkauan pelayanan kesehatan rendah, imunisasi yang tidak memadai, menderita penyakit kronis dan aspek kepercayaan setempat dalam praktek pencarian pengobatan yang salah.
f.         Penatalaksanaan Penderita ISPA
Kriteria yang digunakan untuk pola tatalaksana penderita ISPA pada balita adalah balita dengan gejala batuk dan atau kesukaran bernapas. Pola tata laksana penderita pneumonia terdiri dari 4 bagian yaitu :
1) Pemeriksaan
Pemeriksaan dilakukan untuk mengidentifikasi gejala yang ada pada penderita.
2) Penentuan ada tidaknya tanda bahaya
Tanda bahaya, pada bayi umur kurang dari 2 bulan adalah tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, Stridor, Wheezing, demam Atau dingin. Tanda bahaya pada umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun adalah tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, Stridor dan gizi buruk (Anonim, 2002).
3) Tindakan dan Pengobatan
Pada penderita umur kurang dari 2 bulan yang terdiagnosa pneumonia berat, harus segera dibawa ke sarana rujukan dan diberi antibiotik 1 dosis. Pada penderita umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun yang terdiagnosa pneumonia dapat dilakukan perawatan di rumah, pemberian antibiotik selama 5 hari, pengontrolan dalam 2 hari atau lebih cepat bila penderita memburuk, serta pengobatan demam dan yang ada (Anonim, 2002).
Penderita di rumah untuk penderita pneumonia umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun, meliputi :
a)  Pemberian makanan yang cukup selama sakit dan menambah jumlahnya setelah sembuh.
b) Pemberian cairan dengan minum lebih banyak dan meningkatkan pemberian ASI.
c) Pemberian obat pereda batuk dengan ramuan yang aman dan sederhana (Anonim, 2002).
Penderita umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun yang terdiagnosa pneumonia berat harus segera dikirim ke sarana rujukan, diberi antibiotik      1 dosis serta analgetik sebagai penurun demam dan wheezing yang ada (Anonim, 2002).
Penderita yang diberi antibiotik, pemeriksaan harus kembali dilakukan dalam 2 hari. Jika keadaan penderita membaik, pemberian antibiotik dapat diteruskan. Jika keadaan penderita tidak berubah, antibiotik harus diganti atau penderita dikirim ke sarana rujukan. Jika keadaan penderita memburuk, harus segera dikirim ke sarana rujukan (Anonim, 2002).
Obat yang digunakan untuk penderita pneumonia adalah tabelt kotrimoksasol 480 mg, tabelt kotrimoksasol 120 mg, tabelt parasetamol     500 mg dan tabelt parasetamol 100 mg (Anonim, 2002).

Hubungan antara umur dengan kejadian ISPA

Umur mempunyai pengaruh yang cukup besar untuk terjadinya ISPA. Oleh sebab itu kejadian ISPA pada bayi dan anak balita akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang dewasa. Menurut Stanfield an Stepard (1993), anak berumur kurang dari 2 tahun merupakan kelompok umur yang paling beresiko ISPA. Hal ini disebabkan karena anak usia kurang dari 2 tahun sistem imunitasnya belum sempurnah dan lumen saluran nafasnya relative sempit. (Rasmin,1997).
Kejadian  ISPA  pada  bayi  dan  balita  akan memberikan gambaran klinik yang  lebih  berat dan jelek, hal ini disebabkan karena ISPA pada bayi dan anak balita umumnya merupakan kejadian infeksi pertama serta belum  terbentuknya  secara  optimal  proses  kekebalan  secara  alamiah.  Sedangkan orang dewasa sudah banyak terjadi kekebalan alamiah yang lebih  optimal akibat pengalaman infeksi yang terjadi sebelumnya.
Berdasarkan hasil  penelitian Muliati Muluki di Puskesmas Palanro        tahun 2002-2003 menunjukkan bahwa bayi dan balita yang menderita ISPA lebih banyak pada umur 1 - <5 tahun yaitu 130 (66,3%) kasus dibandingkan umur         < 1 tahun yaitu 66 kasus (33,3). Meskipun secara uji pearson chi square ternyata ada hubungan antara umur dengan kejadian ISPA. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian Maya  di  RS  Haji  Medan  (2004),  didapatkan bahwa proporsi balita penderita pneumonia yang rawat inap dari tahun 1998 sampai tahun  2002  terbesar  pada kelompok umur  2  bulan  -  <5  tahun  adalah  91,1%, demikian  juga  penelitian di RS  Advent  Medan  Tahun  2006,  didapatkan bahwa proporsi balita penderita pneumonia terbesar pada kelompok umur 2 bulan - <5 tahun sebesar 82,1%, sementara kelompok umur <2 bulan sebesar 17,9%.
World Health Organization (WHO) memperkirakan insidens Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di negara berkembang dengan angka kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20% pertahun pada golongan usia balita. Menurut WHO ± 13 juta anak balita di dunia meninggal setiap tahun dan sebagian besar kematian tersebut terdapat di Negara berkembang, dimana pneumonia merupakan salah satu penyebab utama kematian dengan membunuh ± 4 juta anak balita setiap tahun (Depkes, 2000 dalam Asrun, 2006).

Hubungan antara kondisi lingkungan pemukiman dengan kejadian ISPA

Dari pengamatan epidemiologi dapat diketahui bahwa angka kesakitan ISPA di Kota  cenderung lebih besar dari pada di Desa. Hal ini mungkin disebabkan oleh tingkat kepadatan  tempat  tinggal dan pencemaran lingkungan di kota lebih tinggi dari pada di Desa.
Menurut  penelitian   Djaja,   dkk   (2001)   didapatkan   prevalensi   ISPA   di Perkotaan (11,2%) lebih tinggi daripada di pedesaan (8,4%). Prevalensi        di Jawa-Bali (10,7%) lebih tinggi daripada di luar Jawa-Bali (7,8%).
ISPA adalah satu dari sepuluh pembunuh utama di dunia. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), ISPA penyebab kematian utama di tempat pengungsian dan di wilayah bencana. Bersama penyakit infeksi saluran pencernaan, ISPA dapat membunuh seperempat dari jumlah total pengungsi. Wabah ISPA terakhir di Indonesia terjadi pada pertengahan Desember 2004, menewaskan 108 anak balita di pedalaman Paniai, Papua.
Menurut ahli ISPA dan Direktur Medik Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta, Dokter Tjandra Yoga Aditama, di tempat pengungsian, ISPA lebih sulit ditangkal dibanding penyakit pencernaan seperti kolera. ISPA menular melalui udara, padahal "orang harus bernapas dan mengisap udara di sekitarnya, setercemar apa pun udara itu".
ISPA menjadi masalah di wilayah bencana karena rendahnya daya tahan tubuh dan buruknya kualitas lingkungan. Penyakit ini terutama mematikan untuk orang lanjut usia dan anak-anak. Berdasarkan data Komnas HAM Anak, di Aceh ada sekitar 150 ribu anak korban bencana.

Hubungan antara musim dengan kejadian ISPA
Musim merupakan salah satu dari peristiwa di bumi dalam jangka waktu tahunan, pada umumnya berdasarkan pada perubahan waktu setahun berdasarkan cuaca. Musim terjadi akibat rotasi tahunan Bumi mengelilingi Matahari dan kecondongan sumbu Bumi atau rotasi. Musim merupakan hasil dari revolusi tahunan bumi mengelilingi matahari dan kemiringan relatif sumbu bumi terhadap bidang revolusi. Di daerah beriklim sedang dan kutub., Musim ditandai oleh perubahan intensitas sinar matahari yang mencapai permukaan bumi.
Di Daerah lebih umum untuk berbicara tentang musim yaitu hujan musim kemarau, karena jumlah curah hujan dapat bervariasi lebih dramatis dari pada suhu rata-rata. Sebagai contoh, di Indonesia, musim kemarau terjadi pada bulan        mei sampai dengan September, sedangkan musim hujan terjadi pada bulan oktober sampai dengan april. Meskipun pada saat sekarang ini cuaca kadang sudah tidak menentu lagi berdasarkan bulan-bulan tersebut.
Memasuki musim kemarau dengan suhu udara dipastikan cukup tinggi dan sangat panas akan berdampak dengan berkembangnya penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Penyebabnya, cuaca panas dan tingginya suhu udara akan menstimulus munculnya lingkungan yang kering dan berdebu.
"Penyakit ISPA biasanya akan sering muncul berbarengan dengan hadirnya musim kemarau akibat udara kotor. Di antara penyakit ISPA yang hadir                di masyarakat: batuk, flu, dan lain-lain (Kasi Observasi dan Informasi BMKG Lampung Nurhuda, Minggu 1/4/2012).
Peningkatan kewaspadaan, misalnya, dengan menjaga sanitasi lingkungan serta kawasan yang berdebu ketika musim kemarau merupakan pekerjaan yang bijak. Sebab, jika sanitasi lingkungan tak dijaga pada musim kemarau, maka lingkungan akan menjadi berdebu dan sangat kotor. Kotoran atau debu yang kering dan beterbangan pada musim kemarau dan terhirup manusia juga bisa mengakibatkan terserang penyakit ISPA. Oleh sebab itu, kata Nurhuda, agar warga luput dari serangan penyakit ISPA, dihimbau agar seluruh warga dapat meningkatkan kewaspadaannya.

Kerangka Pemikiran
Angka kesakitan dan angka kematian balita masih sangat tinggi, salah satu penyebab tingginya angka kematian dan angka kesakitan tersebut adalah ISPA, dimana ISPA menduduki urutan pertama tertinggi dari 6 Puskesmas di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Parepare.
ISPA merupakan penyakit infeksi yang di sebabkan oleh bakteri maupun virus, lebih sering terjadi pada anak berusia dibawah lima tahun (balita). Anak balita yang menderita ISPA apabila tidak mendapat pengobatan dapat mengalami kematian.
Berdasarkan pola pemikiran di atas maka dibuatlah kerangka pikir variabel yang diteliti sebagai berikut :
INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA)

GAMBARAN PENDERITA ISPA TAHUN 2008-2011
UMUR
LINGKUNGAN
MUSIM

DATA SEKUNDER

 













Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian
­METODE PENELITIAN

Metode dan Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian dengan menggunakan metode deskriptif untuk mendapatkan gambaran mengenai prevalensi penderita ISPA     Di Kota Parepare.

Lokasi dan waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan mulai pada bulan Juni 2012 di Kota Parepare yang terdiri dari 4 Kecamatan, 6 Puskesmas dengan jumlah penduduk 121.551 jiwa (BPS Parepare, 2010) dengan jumlah penderita ISPA yang sangat tinggi yakni 16.755 kasus (13,9 %) untuk tahun 2011.

Populasi dan Sampel

Populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah data seluruh penderita ISPA yang tercatat di Dinas Kesehatan Kota Parepare tahun 2008-2011 atau dengan menggunakan teknik total sampling, untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai prevalensi kejadian penyakit ISPA Di Kota Parepare. Dalam penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari:
1.        Laporan penderita ISPA di Dinas Kesehatan Kota Parepare yang              dikumpulkan dari hasil pencatatan dan pelaporan di Puskesmas.
2.        Kantor Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Parepare untuk memperoleh data kependudukan.

Teknik Pengolahan, Analisis dan Penyajian Data

Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan secara elektronik dengan menggunakan computer dengan program microsoft office excel 2007.

Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis univariat. Analisis dilakukan terhadap variabel untuk melihat distribusi frekuensi dan presentase tiap variabel yang diteliti dengan menghitung nominal dalam bentuk persentase. Pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi dan persentase dari tiap variabel. Data hasil penelitian dideskripsikan dalam bentuk tabel, grafik, dan narasi untuk mengevaluasi besarnya proporsi masing-masing variabel yang diteliti. Analisis univariat bermanfaat untuk melihat apakah data sudah layak untuk dilakukan analisis, melihat gambaran data yang dikumpulkan dan apakah data sudah optimal untuk di analisis lebih lanjut.

Penyajian Data
Penyajian data dilakukan setelah data diolah kemudian disajikan dalam bentuk tabel disertai narasi dan gambar.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar